Judul : To Kill a Mockingbird
Penulis : Harper Lee
Penerjemah : Femmy Syahrani
Penerbit : Penerbit Qanita
Terbit : Cetakan pertama, September 2015
Tebal : 396halaman
Rate : 4/5
“Kau boleh menembak burung bluejay sebanyak yang kau mau, kalau bisa kena, tetapi ingat, membunuh mockingbird—sejenis murai bersuara merdu—itu dosa.” –To Kill a Mockingbird, hlm. 135
Jem menantang Dill untuk memancing Boo Radley keluar dari rumah singgahnya. Boo Radley bukanlah sosok yang ramah. Dan anak-anak di Maycomb sudah tahu, kalau Boo baru akan keluar kala malam turun.
Usia enam tahun bagi Scout adalah masa ketika ia bisa bermain dengan kakak laki-lakinya dan laki-laki yang baru saja ‘melamar’-nya. Tapi, keadaan serta-merta berubah ketika Atticus Finch, sang ayah, ditunjuk oleh Hakim Taylor untuk membela seorang berkulit hitam bernama Tom Robinson, yang mana pada zamannya kaum berkulit warna selalu dianggap sebagai sampah masyarakat.
Scout tak pernah mengerti mengapa para teman dan kerabat memanggilnya dengan sebutan “pencinta nigger”. Hingga kala dirinya, Scout dan Dill menyelinap ke ruang pengadilan dan menyaksikan hal yang sesungguhnya terjadi.
Sebagai premis awal, yang saya dengar, “To Kill a Mockingbird” memang membahas tentang perkara yang menyangkut kaum kulit hitam, tapi di kala itu, hal yang tercetus di kepala adalah perbudakan. Namun, ketika membaca bagian satu dari novelnya, perkara-perkara tersebut seolah-olah dikesampingkan oleh penulisnya yang malah membahas tentang keseharian seorang Jean Louise ‘Scout’ Atticus, gadis tomboi berusia enam tahun, yang tengah menghabiskan liburan musim panas bersama kakak laki-lakinya di sebuah kota bernama Maycomb.
“Maycomb adalah sebuah kota tua yang kelelahan saat pertama aku menegnalnya. Saat musim hujan, jalanan berubah menjadi kubangan lumpur merah; semak tumbuh di trotoar, gedung mengadilan melesak di alun-alun.” –To Kill a Mockingbird, hlm. 18
Hingga cerita pun bergulir dan terintervensi dengan sebutan “pencinta nigger” yang tak pernah dengar sebelumnya. Dalam hal inilah, penilaian saya terhadap eksekusi yang dipilih Harper Lee bisa bilang unik dan atraktif. Yang mana perkara “nigger” ataupun padanan kata lainnya di masa tersebut adalah sesuatu yang amat sensitif dan bukan sekadar ejekan verbal. Namun, Harper Lee justru menunjuk Scout, gadis kulit putih yang berusia enam tahun, untuk bercerita dengan kata-katanya.
Sebagian orang mungkin berkata mana mungkin dan bisa saja Scout melewatkan banyak hal yang terjadi di ruang pengadilan, tapi dengan eksekusi yang diangkat Harper Lee, melewati diri Scout, penulis bukan saja ingin membahas perkara rasisme yang terjadi di masa tersebut dari sisi ketidakadilan hukum yang dialami kaum kulit hitam. Alih-alih, ikut memperhadapkan pembaca dengan sisi lain, kala seorang berkulit putih hendak membantu kaum kulit hitam ikut menerima kecaman dari masyarakat.
Dengan terpilihnya Scout sebagai narator utama, “To Kill a Mockingbird” pun ditulis dengan gaya sebagaimananya gadis tomboi berusia enam tahun. Yang mana kerap kali dijelaskan dengan bahasa yang ceplas-ceplos, termasuk dengan analogi-analoginya di antara deretan dialog. Jika banyak novel klasik atau kontemporer lain mampu membuai pembaca dengan diksi dan metafora yang menarik, Scout malah memilih sesuatu yang sederhana dan berada di sekitarnya, seperti boneka, es krim, dan lainnya. Namun, perlu diketahui sebelumnya, dengan jiwa pemberani dan polos yang ia miliki, Scout merupakan anak yang kritis. Banyak sekali ia melontarkan pertanyaan maupun pernyataan yang kadang dianggap lugu dan lucu, namun ikut juga menyentil perasaan, terlebih orang dewasa yang sering kali menggap semuanya mudah dan dapat membohongi anak-anak.
Untuk memadukan plot ceritanya, Harper Lee membagi “To Kill a Mockingbird” menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah bagian perkenalan, yang mana alurnya terasa mengulur-ulur dan sedikit bertele-tele. Di bagian pertama, Scout sebagai narator ingin mengajak pembaca berkeliling terlebih dahulu, melihat seperti apa Maycomb dalam benaknya, menjumpai Dill dan Jem, lalu para tetangga mereka yang memilih perangai berbeda-beda.
Pada bagian pertama, konflik utama yang coba diangkat Harper Lee belum terlalu kentara alih-alih, diintervensi oleh kehadiran Dill dan taruhan Jem tentang Boo Radley, tapi di akhir bagian tersebut, Harper Lee tak ayal memberikan klu tentang ejekan-ejekan “pencinta nigger” yang kerap kali dikonfrontasi Scout dengan bertikai.
Hingga pada bagian kedua dimulai, situasi menjadi semakin memanas, dan akhirnya Harper Lee menunjukkan hal yang selama ini terselimuti oleh imajinasi Scout. Masyarkat yang tadinya mengucilkan keluarga Finch dengan ejekan secara verbal, kini berani bermain fisik untuk membela yang mereka anggap benar walau sesungguhnya tidak sejalur dengan hukum yang berlaku.
Sudah banyak buku ataupun film yang mengangkat tema tentang politik apertheid dan “To Kill a Mockingbird” tapi saya kira yang punya kasus serupa di kancah kepenulisan kontemporer adalah buku “The Help” karya Kathryn Stockett di tahun 2009. Yang mana juga membahas tentang kehidupan kelas bawah dari kaum Negro di tahun-tahun terdahulu. Walau ada perbedaan dari sudut pandang berceritanya, tapi kedua buku tersebut (“To Kill A Mockingbird” dan “The Help”) sama-sama ingin menegakkan hak yang harusnya dimiliki seorang berkulit hitam, yaitu dipandang sebagai seorang manusia, bukannya sampah yang selalu disalahkan dan diinjak-injak.
“Ada sesuatu di dunia kita yang membuat orang kehilangan akal—mereka tidak bisa adil meskipun sudah berusaha. Dalam pengadilan kita, ketika kesaksian orang kulit putih dipertentangkan dengan kesaksian orang kulit hitam, orang kulit putih selalu menang. Ini buruk, tetapi inilah fakta kehidupan.” –To Kill a Mockingbird, hlm. 313
Teknik penokohan karakter Scout amatlah kuat, dan yang saya suka dari narasi dan monolognya, karakter Scout sendiri seolah-olah cermin bagi karakter lain, khususnya Atticus Finch. Walau Atticus punya andil yang besar, tapi kurang-lebih pembawaan Atticus selalu tenang. Dan untuk melihat ke dalam dirinya, pembaca amatlah terbantu oleh kehadiran sosok Scout, yang selalu bermonolog dan tak ayal menceritakan Atticus Finch yang selalu bertindak bijak dan menasihati dirinya dengan adil sebagai seorang dewasa, bukannya gadis berusia enam tahun.
Dan untuk melengkapi plot serta konfliknya yang menarik, “To Kill a Mockingbird” mengambil latar tempat dan waktu yang relevan, yaitu seputaran tahun 1933-1935 di Maycomb County, Alabama yang dijelaskan lewat keseharian Scout dan regunya. Harper Lee menjelaskan suasana sebuah kota kecil dengan kultur pada penduduknya, yang mayoritas tidak mengenam pendidikan tinggi dan hanya berakhir di lumbung pertanian, sehingga ia pun menjelaskan kalau kerap kali Atticus dibayar dengan hasil tani, bukannya uang.
Secara keseluruhan, “To Kill a Mockingbird” memang patut disanjung sebagai karya sastra terbaik di abad ke-20. Sebagai penulis Harper Lee mampu mencari celah yang tepat untuk berorasi mengenai ketidakadilan hukum di masa tersebut, bukan secara blak-blakan, tapi dengan menyisipi kehidupan menyenangkan dari bocah-bocah Finch.
Secara plot, “To Kill a Mockingbird” dalam versi film memang dipercepat dan lebih jenaka, tapi pemenggalan beberapa adegan tidak terlalu memengaruhi plot cerita. Masih banyak konflik dan adegan penting yang dipertahankan. Juga dengan sudut pandangnya, jika di buku sudut pandang lebih dihadirkan dari Scout yang berusia enam tahun. Pada filmnya, “To Kill a Mockingbird” lebih terasa seperti napak tilas dari sosok Scout yang sudah dewasa dan menceritakan kisah masa kecilnya dengan banyak tambahan informasi dari orang lain, sehingga saat menonton, kisahnya pun lebih terasa seperti diceritakan lewat sudut pandang orang ketiga yang diimbuh sedikit narasi.
Tapi, yang amat saya sukai adalah penerjemahan sosok karakternya yang amat rill. Jika di buku Scout dijelaskan tomboi, Jem seorang yang berjiwa pemimpin, dan Dill memiliki gigi yang lebih maju dari ketiganya, maka terjadilah itu semua. Setiap karakter dipadukan dengan pemilihan cast dan wardrobe yang tepat sehingga dapat menghadirkan sosok yang selama ini menari-nari di imajinasi Harper Lee menjadi nyata dan menyapa masyarkat.
Sayangnya, pada adegan pengadilan, menurut saya, Harper Lee lebih bisa menarik atensi masyarakat lewat dialog-dialog cerkas Atticus Finch dan perdebatannya dengan Mayella Ewell ketimbang gestur dan dialog bertele-tele di adaptasi filmnya.
Namun, secara keseluruhan, “To Kill a Mockingbird” bisa dibilang salah satu adapatasi film yang hebat dan menarik. Tidak seperti adapatasi film kebanyakan yang banyak mengubah plot cerita pun dan mengecewakan para pembacanya. Kendati diproduksi pada tahun 1962 dan bergambar hitam putih, tapi di masanya, saya pikir itu suatu film yang hebat yang berani mengambil banyak latar dengan konflik yang cukup menipu.
Aku ada buku ini, tp masih belum sempat bacaXD
Boleh coba dibaca tuh 🙂 ceritanya unik dan amanat pun menarik.
Menurut aku bahasanya agak berat, jadi ditunda-tunda dulu bacanya :”
Terjemahannya sih sebenarnya bagus, tapi di bagian pertama itu memang sedikit mengulur-ulur ceritanya. Saya pun saat baca sempat nyaris kandas di sana. Tapi di bagian kedua, baru deh terasa konflik sesungguhnya 🙂
Aku belum pernah baca bukunya, tapi sudah pernah nonton filmnya dan memang sangat berkesan buatku. Aku pengen tau dong opini Azu mengenai perbandingan film dan bukunya, seandainya sudah pernah nonton filmnya juga.
PS: salam kenal ya
Salam kenal 🙂
Bukunya punya nuansa sendiri sebagai karya sastra, dan untuk perbandingan dengan filmnya, sebenarnya saya sudah tulis di review saya juga di bagian akhir. Tapi secara keseluruhan, bukunya punya kesan lebih monton dan penjelasan yang panjang lebar mengenai latar. Sedangkan kalau di film, penjelasan yang panjang lebar tersebut terasa jauh dipersingkat. Pada film juga hawa yang terasa menurut saya, lebih jenaka sih, kalau di buku kesannya lebih kuno, dan serius, mungkin karena terpengaruh dari gaya penulisannya.
aku suka buku ini, lucu tapi sedih. kita bisa melihat dan tergambarkan suasana kalau terjadi gejolak parah ekonomi dunia (great depression yg akhirnya melahirkan hitler) dan bagaimana keadaan sesungguhnya di bagian dunia paling parah terkena saat itu, seperti gambaran hilangnya peredaran uang.
selain itu ada juga gambaran kegiatan kritik sosial rasialisme yang jaman sekarang akhirnya secara umum dikutuk semua orang walaupun masih ada kasus tertentu di sudut2 dunia tertentu.
Buku ini adalah salah satu karya sastra kemanusiaan yang sangat penting, mendorong salah satu kegiatan dari the great generation di dunia yang datang sebelum baby boomers dan bagaimana proses kritik rasialisme akhirnya melahirkan dunia yang berubah terhadap konsep rasialis termasuk kolonialism terakhir.
ini adalah salah satu contoh karya kemanusiaan yang tak lekang jaman dan kolosal yang mengubah dunia.
suatu pencapaian yang luar biasa menurutku dan bacaan wajib bagi siapapun yang ingin mengerti dunia pluralism modern yang harus berdasarkan hukum. dan juga untuk siapapun yang takut akan terulangnya krisis kemunusiaan dunia akibat hancurnya ekonomi….salah satunya ssekarang adalah perubahan iklim atau climate change
thanks atas perhatiannya. semoga banyak yang mendapat manfaat dari buku ini