Judul : Stuck in Love
Penulis : Stephanie Zen
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Cetakan pertama, Desember 2015
Tebal : 312 halaman
Rate : 4 / 5
“Seperti itulah jawabaku. Aku mencintaimu karena hatiku memilihmu, sama seperti hatimu memilihnya.” –Stuck in Love, hlm. 254
Usaha Al untuk melamar kerja pada We Connect tak ayal mempertemukannya pada Benjamin Chua. Ben kentara senang melihat Al kembali memilih perusahaannya setelah sebulan lalu perempuan itu mangkir ke perusahaan lain.
Ben memang tipikal pria biasa. Namun, seluruh bawahan dan rekan kerjanya menganggap pria itu sebagai bos terbaik sedunia. Berbeda dengan Al, bagi Al, Ben bukan sekadar baik, tetapi kelewat pengalah dan sabar.
Al yang masih terjepit di zona pertemanan dengan Enzo, kerap kali merasa canggung dengan kebaikan bossnya. Ben berpendapat, asal Al bahagia ia pun akan merasa demikian. Tetapi, bagi Al, satu-satunya orang yang tengah mengisi hatinya adalah Enzo seorang. Namun, sampai kapan ia harus menunggu? Mengapa Enzo begitu egois terhadap dirinya?
Secara keseluruhan, dengan pemilihan lini Metropop. Suasana yang dihadirkan Stephanie Zen adalah suasana kantoran di Singapura. Setiap bos menuntut kerja ekstra serta tingkat perfeksionis yang tinggi dari para karyawan. Dalam novel terbarunya, Stephanie Zen tidak hanya ingin menceritakan kisah hidup Al lewat lingkup percintaan, tetapi dengan lingkungan baru yang amat patuh pada regulasi. Seperti adanya regulasi mengenai visa kerja yang memiliki tiga jenis: Permanent Resident, Employment Pass, dan S Pass. Dengan regulasi tersebut, penulis bisa membuat sebuah konflik yang terasa rill dan tidak mengada-ngada. Sehingga, jika seseorang berada di posisi Al kala itu, sudah jelas alur ceritanya bakal bergulir sebagaimana seharusnya.
“Stuck in Love” bisa terbilang cukup quotable. Walau masih bertemakan novel roman, tapi Stephanie Zen banyak menyelipkan pelajaran dan kalimat-kalimat syukur dari peristiwa-peristiwa di sekitar Al, melalui seorang rekan kerja dan juga melalui kejadian-kejadian yang sesungguhnya bukan menjadi bagian dari cerita utama. Namun, potongan cerita tersebut malah terasa menyegarkan bagi saya, bukan sekadar membaca, tapi seperti mendapatkan moral motivasi tersendiri.
“Sometimes, good things fall apart, so better things can fall together.” –Stuck in Love, hlm. 57
Untuk sebuah novel Metropop, “Stuck in Love” bisa saya golongkan sebagai novel yang cukup santai, sekalipun temanya menyangkut dunia profesionalisme dalam bekerja. Mengingat karier Stephanie Zen yang dulu bermula dari penulis novel teenlit, hawa penuh emosi tersebut tak ayal ikut digiringnya ke dalam novel terbarunya kali ini. Bisa terlihat dari gaya bahasanya yang luwes, lantas beberapa narasi pun cukup sering disela oleh balon-balon chat langsung dari aplikasi Whatsapp/SMS. Yang mungkin sedikit berbeda dari teenlit yang dulu saya baca adalah penggunaan bahasa asingnya.
Penggunaan Bahasa Inggris yang berseling dengan Bahasa Indonesia memang dapat dimaklumi sebagai salah satu karakteristik novel Metropop. Namun, yang kurang saya nikmati dari “Stuck in Love” adalah penggunaannya yang kepalang panjang di beberapa bagian. Tidak sebagai celetukan-celetukan yang kerap kali digunakan oleh kaum sosialita di kota besar.
Sebagai representasi dari gaya menulis Stephanie Zen yang khas, penulis pun banyak menyelipkan lirik lagu sebagai quote yang dapat dimaknai. Dampak baiknya, sebagian pembaca seperti saya menyukainya karena dapat menengahi alur agar tidak bosan, tapi ada beberapa bagian yang kadang kala saya pikir kurang pas untuk ditingkahi dengan lirik lagu, seperti ketika Enzo marah dan tiba-tiba saja ia terpikir lirik lagu “Mirror” milik Justin Timberlake, rasanya agak sedikit melompat dan fiktif.
Stephanie Zen punya tase yang baik dalam merangkai dialog. Jika di novel Metropop sebelumnya, “Gravity” karya Rina Suryakusuma, penulisnya cenderung memakai dialog yang formal dan khas kantoran. Stephanie Zen memilih mengombinasikan dialog antar-sahabat, rekan kerja, dan juga gaya formal kepada bos. Sekaligus dengan mempermainkan fokus lewat sudut pandang orang ketiga. Walau “Stuck in Love” bercerita tentang kisah cinta yang agak klise, tapi pengeksekusiannya mampu membuat pembaca merasakan emosi yang berbeda-beda lewat tiga sudut pandang yang berbeda dari karakter-karakternya.
Dengan menggunakan alur maju, “Stuck in Love” menceritakan kisah cinta Al dan Ben serta Al dan Enzo dengan porsi yang sama banyak. Kalau saya sebagai pembaca biasanya sering bisa menerka ke mana penulisnya akan membawa sebuah cerita, kali ini saya rasanya menyerah. Stephanie Zen memang hebat menjebak pembaca lewat opsi-opsi spontan dari Al.
Sedari awal memang “Stuck in Love” memang terasa agak lamban. Deskripsi penulis yang berkenaan dengan hal-hal spasial dibuat agak mengulur dan bertele-tele. Terlebih dengan lingkungan kerjanya yang bukan berada di Indonesia, Stephanie Zen merasa perlu menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan Singapura dengan lebih mendalam. Tetapi, dengan alur yang demikian, saya menangkap maksud dari penulisnya yang ingin memberikan kesempatan pembaca untuk menyimpulkan alur cerita, penokohan, dan adegan dengan imajinasi masing-masing.
Seperti halnya perihal penokohan, Stephanie Zen mampu memberikan efek dramatisir yang kuat untuk masing-masing tokoh dari penjelasan gestur, dialog, dan kebiasaan sehari-hari. Dan menurut imajinasi saya, Al adalah tokoh yang optimis tetapi agak cengeng. Sifatnya cukup netral. Namun, untuk Enzo dan Ben. Keduanya terasa sangat kontras, bagi saya. Enzo dijelaskan punya kebiasaan yang tempramental ketika sedang di bawah tekanan dan ingin selalu dimengerti. Berkebalikan dengan Ben yang punya sikap santai, sabar, dan pengalah.
Dari tiga tokoh tersebut jelas kentara pola yang ingin dibangun Stephanie Zen, yaitu membuat Al terperangkap dengan pertanyaan, apakah ia ingin terus berjuang memperoleh perhatian Enzo atau menerima Ben yang penyabar?
Terakhir, membahas perihal setting, mungkin ada beberapa kali saya menjumpai Singapura sebagai setting tempatnya, namun Singapura bagi “Stuck in Love” bukan sekadar tempelan. Dengan latar belakang penulis yang tengah menetap di sana, Singapura jelas dapat dibikin hidup dalam cerita hidup Al. Nama jalan yang tertulis di cerita dijelaskan dengan suasana yang mendukung. Kebiasaan-kebiasaan dan frasa yang kerap digunakan penduduk setempat juga kadang terlontar di dialog tokohnya.
Pada mulanya membaca “Stuck in Love” memang agak sedikit menjenuhkan, tetapi makin ke belakang, Stephanie Zen selalu sanggup mengaduk emosi pembacanya dengan keputusan-keputusan hebat yang diambil tokohnya, seperti saat membaca teenlit dulu. Lantaran dulu selalu membeli teenlit-nya, saya pun penasaran, bagaimana dengan gaya menulis Stephanie Zen yang sekarang. Rupanya tetap sangat menghibur, perbedaannya dari segi kematangan bercerita, “Stuck in Love” bukan mendebatkan cinta sepele seperti pada cerita fiksi, tapi memperhitungkan banyak dampak seperti pada dunia realita.