A Man Called Ove – Fredrik Backman

28916932
 
 
Judul                     : A Man Called Ove
Penulis                  : Fredrik Backman
Penerjemah         : Ingrid Nimpoeno
Penerbit               : Penerbit Noura Books
Terbit                    : Cetakan pertama, Januari 2016
Tebal                     : 440 halaman
Rate                       : 4/5
 
 

“Kita merasa gentar terhadap kematian, tapi sebagian besar dari kita merasa paling takut jika kematian itu membawa pergi orang lain. Sebab yang selalu menjadi ketakutan terbesar adalah jika kematian itu melewatkan kita. Dan meninggalkan kita di sana sendirian.”A Man Called Ove, hlm. 425

 

Laki-laki tua itu bernama Ove. Bukan tipe yang romantis. Bukan juga tipe yang ramah. Jika seseorang berani membawa mobil mereka ke depan plang dilarang parkirnya, ia tak segan-segan menegur. Apalagi mengadakan pertikaian besar tentang melanggar sebuah aturan.

Seumur hidup Ove percaya akan idealismenya. Ia tak perlu opini orang lain, tak perlu juga apresiasi yang menjadikannya terkenal. Biar saja ditemani mobil keluaran Saab. Toh yang ia cintai selama ini hanya kebenaran, mobilnya, dan Sonja.

Hanya Sonja seorang yang berhasil membuat Ove luluh. Sonja bukan saja cantik. Perempuan itu mencintai buku-buku dan menyayangi suaminya yang tegas tapi penuh kejujuran. Sonja dan Ove bagaikan kutub magnet yang berbeda, yang satu berwarna, sedangkan Ove hanyalah laki-laki hitam-putih yang sederhana.

Para tetangga sering mengecap Ove sebagai pria pemarah, tetapi bagaimana dengan dulu? Apakah perangainya memang seperti itu?

 
 

Setelah dunia pernovelan diguncang kesukesesan novel “The Hundred-Year-Old Man Who Climbed Out the Window and Disappeared” karya Jonas Jonasson beberapa tahun silam, kini giliran Fredrik Backman—sebagai penulis asal Swedia lainnya—menelurkan sebuah karya baru dengan genre serupa. Dengan racikan sedikit humor dan drama khas orang tua, Ove dijelaskan menjalani masa tuanya; menolak segala hal berbau modernisme, sekaligus kesepian hidup seorang diri.

Sekilas, sosok Ove dalam “A Man Called Ove” mengingatkan saya dengan tokoh Mr. Fredickson pada film animasi “Up”. Perangai mereka sama-sama pemurung, tidak ramah, dan selalu saja nampak kesepian. Kendati demikian, Ove adalah orang yang baik hati dan selalu menjunjung kebenaran. Seperti halnya Mr. Fredickson yang setia, Ove pun amat setia pada Sonja, sekalipun itu Sonja telah meninggalkannya bersama koleksi buku dan kenangan. Kisah cinta Ove dan Sonja diceritakan melalui banyak asam-garam, bukan sekadar cerita yang digambarkan penuh kesenangan dan rasa kasmaran, tapi di saat-saat terpuruk, Sonja adalah satu-satunya yang bisa mengerti dan menenangkan diri Ove.

Sebagian besar plot “A Man Called Ove” bercerita tentang keseharian, tepatnya keseharian Ove yang hidup bertetangga. Yang mana di lingkungan tersebut, ditinggali tetangga lamanya dan sepasang tetangga baru yang tengah mengharapkan kedatangan seorang anak. Hal-hal lucu yang diangkat oleh Fredrik Backman adalah perbedaan prinsip keduanya yang terlihat konyol, bagaimana Ove yang tua selalu mempertahankan prinsip kolotnya tanpa mau diganggu gugat dengan sebuah inovasi yang baru. Akan tetapi, di sela-sela kekonyolan tersebut, penulis pun mengungkap kejadian-kejadian lampau yang menjadi nostalgia tersendiri bagi Ove.

Jadi, apakah “A Man Called Ove” sepenuhnya menceritakan humor? Tentu saja tidak. Bagi saya, “A Man Called Ove” adalah novel penuh makna. Fredrik Backman tidak sekadar menciptakan Ove dengan dialog yang ngotot sehingga mengundang tawa. Tapi, di dalam kepalanya, Ove punya sesuatu yang bermakna. Terlebih menyangkut prinsipnya dalam mempertahankan kebenaran. Narasi dan dialog yang dituturkan Fredrik Backman tak jarang membuat saya tercenung.

Menyangkut gaya menulis, Fredrik Backman menceritakan kisah hidup Ove lewat sudut pandang orang ketiga yang sepenuhnya berperangai seperti Ove. Kendati tidak ada interaksi antara narator yang serba-tahu-ini dengan Ove, tapi lewat caranya menjelaskan hal-hal yang spasial, Fredrik Backman sering menggunakan majas yang penuh sarkasme. Tidak ada metafora yang ramah dalam kalimat-kalimatnya. Dan mengenai deskripsi gestur serta spasial, semuanya dijelaskan secara eksploratif dan berdiksi mudah. Sehingga dalam proses membaca, seseorang seolah dituntun untuk melihat segala hal yang memang terlintas di mata Ove.

Fredrik Backman yang tertulis di bagian introduksi penulis, Ove tercipta dari sebuah postingan blog, oleh sebab itu setiap bab dalam kehidupan Ove terpenggal seperti cerbung per episode. Seperti halnya bab pertama: “Lelaki Bernama Ove Membeli Komputer yang Bukan Komputer” dan bab kedua: “Lelaki Bernama Ove Melakukan Inspeksi Lingkungan”. Dua bab tersebut tidak punya keterkaitan dari segi judul. Tapi, memang setiap bab selalu punya konflik yang juga dapat diselesaikan pada bab yang sama, sehingga dapat disimpulkan, membaca “A Man Called Ove” dapat diibaratkan seperti menonton seri komedi situasi. Kendati dapat disimak secara lepasan, tapi seluruh bab-nya merangkai sebuah cerita yang menyentuh tentang diri Ove.

“A Man Called Ove” ditulis Fredrik Backman dengan alur bolak-balik; alur masa depan dan alur masa lalu yang saling terikat. Di alur masa sekarang Ove yang hidup sendiri kerap menghadapi banyak hal dan dalam hal sepele sekalipun, Ove selalu berfantasi mengenai masa lalunya, mengait-ngaitkannya secara menarik. Dengan kebiasaan tersebut, pembaca pun tak ayal disungguhkan tiga sensasi berbeda: di masa lalu Ove selalu menyimpan cerita-cerita menyentuh; di masa sekarang dialog Ove yang keras kepala kerap kali mengundang rasa tawa; tapi kadang kala di tengah kebiasaan penyendiri Ove, alur yang dibimbing Fredrik Backman terasa monoton.

Penokohan yang digunakan Fredrik Backman dalam “A Man Called Ove” adalah penokohan yang kerap kali menipu para pembaca. Dengan selalu berpihak pada Ove, narator tak hentinya menyelubungi para tetangga dan orang-orang di sekitar Ove dengan  kejelekan dan ejekan. Sedangkan cerita Ove sendiri dijelaskan dengan dramatisir yang baik. Karakter yang keras kepala dijelaskan melalui dialog. Dan prinsipnya dijelaskan secara nyata pada bagian narasi.

 

“Orang dinilai dari yang mereka lakukan. Bukan dari yang mereka katakan.” –A Man Called Ove, hlm. 105

 

Begitu juga dengan sosok Sonja. Pada intinya, bisa dibilang dari segi narasi penokohan, Fredrik Backman mampu menggambarkan tokohnya yang egois dan terlihat selalu ingin diperhatikan melebihi lingkungan di sekitarnya.

Dalam pemilihan setting, “A Man Called Ove” tidak menjelaskan latar tempatnya secara jelas. Tapi lewat penataan gaya bahasa yang penuh keseharian dan dan narasinya yang menceritakan adanya Asosiasi Warga. Dapat dibuat hipotesis jika Fredrik Backman memilih latar sebuah perumahan bebas parkir sebagai lingkungan tempat tinggal Ove. Namun, dari pemilihan nama para tokohnya, seperti Ove, Sonja, Anita, dan Rune, nama-nama yang dipilih Fredrik Backman punya unsur kental dalam kebudayaan Swedia.

Secara keseluruhan, “A Man Called Ove” merupakan novel yang penuh tipuan, jika “The Hundred-Year-Old Man Who Climbed Out the Window and Disappeared” karya Jonas Jonasson sanggup mengundang tawa, “A Man Called Ove” mampu mendatangkan tawa dan haru di saat yang bersamaan. Sungguh novel yang sederhana tapi sarat makna.

One thought on “A Man Called Ove – Fredrik Backman

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s