Judul : The Young Elites (The Young Elites #1)
Penulis : Marie Lu
Penerjemah : Prisca Primasari
Penerbit : Mizan Fantasi
Terbit : Cetakan pertama, November 2015
Tebal : 428 halaman
Rate : 4/5
“Kita semua adalah kesalahan.” –The Young Elites, hlm. 317
Sudah seharusnya kaum malfetto dimusnahkan dari tanah Kenettra. Adelina pun harus dijatuhi hukuman mati. Namun saat detik-detik penentuan, Sang Pencabut Nyawa yang misterius malah menyelamatkannya. Enzo dengan identitasnya di balik topeng dan tudung Pencabut Nyawa menjelaskan jabatannya sebagai pemimpin Perkumpulan Belati (Dagger Society), yaitu perkumpulan Elite Muda yang berencana memberontak dan menggulingkan pemerintahan. Tak ada pilihan lain untuk pulang, Adelina ikut bergabung dengan perkumpulan itu dan melatih kekuatan magisnya dalam menciptakan ilusi.
Pilihan sulit itu datang di suatu kala, ketika seorang bernama Teren Santoro, sang pemimpin pasukan inkuisisi, mengendus kemampuan hebatnya, laki-laki jahat itu mengancamnya dengan dua pilihan: kehilangan sang adik atau menjadi mata-mata pasukan inkuisisi dalam Perkumpulan Belati.
Sepintas, “The Young Elites” mengingatkan saya pada buku “Half Bad” karya Sally Green, yang mana di dalamnya sama-sama melibatkan ilmu sihir dan menjadikan seorang tokoh remaja sebagai tokoh sentral, yang akan diceritakan sepeti memoar lewat sebuah cerita. Dalam kedua novel tersebut diceritakan bagaimana seorang anak diperlakukan secara tidak adil oleh orangtua mereka yang dikarenakan kekuatan atau perawakan yang berbeda. Karakter Adelina Amouteru pada “The Young Elites” dan Nathan pada “Half Bad” pun punya kemiripan dari status mereka yang terjepit antara kuasa baik dan jahat.
Namun, jika “Half Bad” lebih bercerita dengan alur yang penuh teka-teki dan berpusat pada teritori keluarga pada buku pertamanya, “The Young Elites”—yang diceritakan melalui sudut pandang heroine pada buku pertamanya—sudah banyak melibatkan perkara roman. Oleh karena itu, dalam segi bahasa, “The Young Elites” dapat dibilang punya kosa-kata yang penuh metafora, mendayu-dayu, dengan permainan kalimat yang terasa dilematis dan terus menimbang-nimbang keadaan. “The Young Elites” pun punya segi yang kaku pada narasi, akan tetapi, dengan tipe narasi semacam itu, Marie Lu berhasil membuat pembaca merasakan suasana yang menimpa kaum malfetto di Kenettra, yang mana hidup mereka selalu monoton lantaran diatur oleh hukum yang ketat.
Membaca “The Young Elites” sama sekali tidak membosankan, walau didukung dengan penggayaan bahasa seperti itu. Bisa dibilang terjemahannya cukup baik, dengan penggunaan metafora yang cukup kontras, diksi yang digunakan untuk menggagas ceritanya terasa mudah. Dalam menjelaskan perkara yang cukup rumit serta mengandung adegan-adegan sihir yang mutakhir (seperti: benang-benang energi), penerjemah dapat membuat narasi-narasi terjemahan yang sederhana sehingga mudah ditangkap oleh pembaca.
Pemilihan sudut pandang yang digunakan Marie Lu pada “The Young Elites” cukup menjebak. Dengan keberadaan empat orang tokoh uama dalam bukunya—Adelina Amouteru, Enzo Valenciano, Teren Santoro, dan Raffaele Laurent Bessette—Marie Lu meramu narasi berdasarkan sudut pandang orang pertama sebagai Adelina dan sudut pandang ketiga sebagai tiga tokoh lainnya. Lewat pencampuran kedua sudut pandang tersebut, pembaca menjadi punya pengetahuan luas akan tokoh Adelina sebagai sentral cerita. Melihatnya berkembang melalui perang batin dan keputusan-keputusannya untuk bermetamorfosis menjadi tokoh yang baik atau tokoh yang jahat.
Sebagaimana cerita fantasi yang melibatkan kekuatan magis dan kota imajiner diawali, “The Young Elites” punya bab introduksi yang cukup panjang. Tidak sepanjang, semenjebak, dan semenjenuhkan “Half Bad”, “The Young Elites” dikisahkan dengan alur maju dan beberapa monolog yang mengandung napak tilas. Lewat bab ini, Marie Lu menjelaskan tentang diri Adelina sebagai seorang malfetto yang terbuang, sekaligus jati dirinya sebagai Elite Muda.
“Jadi. Anda seorang Elite Muda,” aku mengakhiri. Nah. Aku mengucapkannya dengan terang-terangan.
“Nama yang diberikan masyarakat untuk usia muda kami dan kemampuan kami yang tidak wajar. Inkuisisi membencinya.”
–The Young Elites, hlm. 74
Petulangan Adelina pun dimulai. Marie Lu menyajikan plot yang cukup menjebak. Jika di setengah buku ke depan, pembaca ditawarkan sebuah tema yang cukup pasaran dan terasa minimalis, separuh buku ke belakang bercerita yang sebaliknya. Marie Lu baru menunjukkan kepiawaiannya dalam membuat beberapa plot twist yang mencengangkan. Memutarbalikkan yang dulunya dianggap sepele pembaca, sebagai kunci terbesar dalam petualangan Adelina dan membuat pembaca bertanya, apakah “The Young Elites” bercerita tentang pahlawan atau penjahat?
Dalam menjelaskan petualangan Adelina serta tokoh-tokoh lainnya, Marie Lu meramu sebuah gaya penokohan yang baik. Terutama pada bagian busana. Dengan latar yang mendukung, gaya busana yang dikenakan para tokohnya dijelaskan seperti jaman histroikal kerajaan. Bukan sebagai “baju” tanpa pernak-pernik, alih-alih, penulis menjelaskan secara rinci tiap hiasan yang ada dan bahan materialnya. Pemilihan kostum bagi tiap tokohnya terasa pas dengan karakter tiap tokoh, seperti halnya Enzo, seorang petarung dengan busana yang siap berperang serta tudung yang misterius, Raffaele, seorang pramuria, pun punya kostumnya tersendiri yang bergaya lebih anggun.
Untuk penokohan Adelina Amouteru, Marie Lu menjelaskan tokoh utamanya mirip tokoh-tokoh heroine pada novel distopia lain, yang mana tokohnya: pemberani dan idak peduli risiko asal dapat melindungi yang ia cintai, tetapi yang berbeda pada tokoh Adelina adalah pilihan-pilihan yang diambilnya di tiap persimpangan masalah. Pilihan yang diambilnya terbilang mengejutkan, walaupun dalam kostumnya dan kesehariannya pada Fortunata Court, Adelina terkesan amat feminin.
“The Young Elites” dirangkai Marie Lu sebagai cerita yang amat imajinatif, pun dengan latarnya, yang menyebutkan Pulau Kenettra sebagai tempat utama di mana kebijakan anti-malfetto diberlakukan. Kenettra sendiri adalah negeri khayalan Marie Lu, tapi Pulau Kenettra bukan semata-mata nama yang disebutkan para tokoh, tapi Marie Lu pun menyematkan petanya di halaman sebelum cerita dimulai. Keberadaan peta memang mampu memacu imajinasi pembaca mirip saat membaca cerita-cerita petualangan lainnya, seperti seri “Eragon” (Paolini, 2003) atau “The Chronicles of Narnia” (Lewis, 1950). Pembaca seakan-akan bisa mengikuti jejak perjalanan Adelina dari Kenettra bagian selatan hingga ke Estenzia, Kenettra bagian utara.
Banyak hal yang menjadikan Kenettra menjadi terasa amat nyata, salah satunya peraturan hukum dan turnamen-turnamen yang terjadi di sana. Setiap event tahunan terjadi di sana dijelaskan Marie Lu dengan melibatkan Adelina Amouteru dan Perkumpulan Belati sehingga sepintas saya berpikir, apabila cerita ini dikembangkan dengan keterlibatan makhluk gaib, ada baiknya seri “The Young Elites” milik Marie Lu berkembang menjadi cerita epik fantasi.
Secara keseluruhan, “The Young Elites” mampu menciptakan tempat baru di benak pembaca. Walau sekilas terlihat mampu ditebak, tetapi lewat gaya bercerita Marie Lu yang mendahulukan karakternya sebagai sentra cerita, plot cerita pun tak bisa ditebak dan malah menjebak pembaca.