All She Was Worth ‘Melacak Jejak’ – Miyuki Miyabe

743c1e01150cae4835919fa7d15ef4c2
 
 
Judul                     : All She Was Worth ‘Melacak Jejak’
Penulis                  : Miyuki Miyabe
Penerjemah         : Gita Yuliani K.
Penerbit               : Gramedia Pustaka Utama
Terbit                    : Cetakan pertama, April 2016
Tebal                     : 480 halaman
Rate                       : 4/5
 
 

“Maka yang sudah mati meninggalkan jejak mereka dalam diri mereka yang masih hidup, seperti pakaian yang ditanggalkan dan masih menyimpan kehangatan tubuh seseorang.”All Was Worth ‘Melacak Jejak’, hlm. 227

 

Sudah hampir jam sembilan malam ketika Jun Kurisaka datang. Shunsuke Honma begitu heran, entah angin apa yang membawa keponakan mendiang istrinya melipir berkunjung. Jun yang kini berkerja sebagai seorang bankir membutuhkan jasanya untuk menyelidiki seorang wanita bernama Shoko Sekine.

Perempuan cantik itu raib tanpa jejak. Shoko seorang yatim-piatu, anak tunggal yang datang dari Utsunomiya menuju Tokyo. Dari catatan terakhir yang diketahui, Shoko bekerja di Mesin Kantor Imai dan sempat mengalami kebangkrutan sehingga menemui pengacara Mizoguchi & Takada.

Jun Kurisaka tidak begitu mengenal wanita yang kelak akan menjadi calon pendampingnya. Jun bisa saja menyatakan jika Shoko adalah seorang korban. Tetapi, dari perbincangan Honma dengan rekan sekantor Shoko di Mesin Kantor Imai dan kantor pengacara Mizoguchi & Takada, Shoko Sekine yang mereka kenal adalah dua orang yang berbeda.

 

“Shoko Sekine mencoba menghentikan rodanya. Ia turun dari kereta di suatu tempat. Lalu, tanpa menyadarinya, si wanita yang menjadi Shoko Sekine, naik kembali.”All Was Worth ‘Melacak Jejak’, hlm. 148

 

Di sebuah negara yang mencatat data kependudukan dengan begitu cermat, bagaimana bisa ada dua orang perempuan yang memiliki identitas yang sama? Bukan mustahil jika seseorang mencuri identitas orang lain, terlebih jika orang itu terkenal pun kaya raya. Namun, mengapa wanita itu malah mengambil identitas Shoko Sekine yang tengah mengalami kebangkrutan?

 
 

Seperti kata subjudul terjemahannya, ‘melacak jejak’. Novel terjemahan karya Miyuki Miyabe ini memang menceritakan keseluruhan plot ceritanya sebagai ajang pencarian. Bukan pencarian identitas si pembunuh, pun korban yang ikut terbunuh. Dan pembunuhan kali ini pun bukan melibatkan uang sebagai yang diperebutkan, melainkan sebuah identitas. Namun, seperti yang dipertanyakan pada sinopsisnya, identitas si korban adalah orang yang bangkrut. Lantas, kenapa wanita tersangka satu ini malah repot-repot ingin mencuri identitasnya?

Dua hipotesis yang begitu sederhana, tapi terus membuat saya terjaga untuk terus menyelesaikan novel tebal ini dengan durasi cukup lama. Novel pertama dari Miyabe yang saya baca, tapi motifnya begitu kuat dan rill di mata saya. Miyuki Miyabe tidak mengangkat tema detektif yang populer, sebagaimana ada seorang detektif yang hebat, ditemani rekan sejawat yang banyak bicara, lantas penyelidikannya pun ikut menjadikan detektif tersebut menjadi seorang yang harus membereskan masalah tersebut.

Dalam “All She Was Worth” latar belakang yang diangkat adalah tatanan ekonomi dari sebuah kota, dan kota yang dimaksud adalah Tokyo. Yang mana Tokyo tidak dijelaskan dengan bumbu-bumbu manis nan romantis seperti pada novel populer, alih-alih sebuah kota yang gelap dan transparan dari segala jenis kejahatan. “All She Was Worth” bercerita tentang bentuk nyata dari sebuah kota metropolitan. Sebuah kota yang punya etos kerja sangat tinggi sehingga masyarakatnya pun terbiasa menggunakan barang semata-mata untuk menaikkan derajat mereka dengan bantuan kartu kredit. Dan begitulah karakter Shoko Sekine dapat terjerembab masuk ke dalam wilayah kebangkrutan lantaran terlilit hutang. Ia bekerja sebagai hostess di sebuah bar malam, lantas mendapat banyak cercaan dari rekan dan kerabatnya di Utsunomiya. Dan mulai saat itulah Shoko Sekinie yang sesungguhnya menghilang.

Perlu waktu yang cukup lama dan ruang tenang untuk memaknai tiap dialog saat membaca “All She Was Worth”. Dialognya panjang, disela oleh gestur-gestur yang detail, serta beberapa narasi dari sudut pandang orang ketiga yang bersifat eksplisit dan analitik dalam menanggapi dialog para tokoh-tokoh yang menjadi tersangka dalam daftar pencarian Shoko Sekine.

Walau menggunakan sudut pandang orang ketiga, saya menggolongkan “All She Was Worth” sebagai cerita yang menggunakan teknik character-driven pada karakter Honma. Analisis pelacakan sosok Shoko mudah ditangkap, tidak disela oleh banyak emosi dari para rekan dan kerabat yang ikut mempertanyakan keberadaan perempuan itu.

Dan seperti halnya Honma yang kerap kali terkejut mengenai fakta-fakta Shoko Sekine dan si pencuri identitas, pembaca pun akan merasa demikian. Dari sedemikian karakter yang ditemui, dialog-dialog mereka akan terasa random, tanpa irama dan bergerak ke sana kemari hingga berhenti di suatu titik, pembaca tidak serta-merta diangsurkan pada jawaban, tetapi harus merangkum sendiri dan mencari titik singgung antara eksposisi tokoh A dan tokoh B.

Dari keseluruhan gaya bahasa yang digunakan Miyuki Miyabe, saya seolah-olah dapat menarik kesimpulan bahwa penulis Jepang tak ayal selalu melibatkan kutlur yang gelap, independen, dan depresif. Seperti halnya Murakami menuliskan dialog dengan banyak melibatkan adegan merokok, pada “All She Was Worth”, para tokohnya pun kerap kali mengeluarkan kotak Seven Stars dan merokok di sela dialog. Begitu juga dengan beberapa unsur ekstrinsik lain yang membeberkan tentang rutinitas yang monoton dan pekerjaan malam sebagai hostess di bar.

Menyangkut gaya menulis para penulis Jepang, “All She Was Worth” diterjemahkan dengan versi Indonesia yang sangat baik. Gaya terjemahannya tidak menggunakan diksi yang muluk-muluk, tapi dari tatanan sintaksisnya terasa kaku, mirip gerak-gerik Shoko Sekine dan si pelaku kejahatan yang serba-rahasia.

Selain ide dan karakter yang menarik, dalam menyingkap jati diri Shoko Sekine, “All She Was Worth” ditulis dengan alur maju yang bergerak mundur. Sama seperti novel-novel investigasi pada umumnya. Honma terus bergerak maju, mengunjungi Tokyo, Osaka, dan Utsunomiya dengan tujuan terus menggali masa lalu Shoko Sekine.

Sebagai galur utama, alur yang disajikan Miyuki Miyabe adalah alur yang runut, namun yang cukup memusingkan adalah alur tokoh-tokoh kerabat dan rekan kerja Shoko. Masing-masing karakter yang ditemui Honma pastinya punya kenangan lampau akan sosok yang dicari.  Dengan alur demikian serta gaya bahasa yang tenang, plot “All She Was Worth” seringnya bersifat mengejutkan, tidak disangka-sangka, tapi jika dipikir, semuanya akan terangkai menjadi sebuah plot yang logis.

Namun, dari permainan gaya bahasa dan tema tersebut, ada efek negatif yang saya tangkap saat membacanya, yaitu di beberapa bab pertengahan sembari berusaha menyimak pembicaraan Honma dan para saksi mata, “All She Was Worth” kadang menjelma menjadi cerita yang menjenuhkan. Terlebih “All She Was Worth” memang sebuah novel pengungkapan jati diri, sehingga tidak ada konflik yang meledak-ledak ataupun adegan-adegan yang bersifat aksi bermanuver seru.

Banyak yang berkata kalau “All She Was Worth” adalah novel yang moody and deep. Walaupun sebuah novel investigasi dan penuh misteri, tapi dua kata itu memang tercermin pada dua karakter utamanya. Karakter-karakternya hadir bukan karena deskripsi yang analitik, tapi lewat gestur, penuturan, dan kenangan orang lain, maka karakter misterius itu sedikit demi sedikit terkuak di mata pembaca. Akan tetapi, lantaran tokoh figurannya yang sangat banyak, yang menjadi kelemahan novel ini adalah para karakternya yang sulit diingat. Seperti halnya saat membaca “All She Was Worth”, saya pun tertukar-tukar antara nama sang anak, si pengasuh, lantas nama tokoh utamanya pun pada mulanya sulit dihafal.

Terlepas dari tokoh yang banyak, latar tempat yang dihadirkan Miyuki Miyabe menyimpan ingatan tersendiri yang menyatu dengan para karakternya. Ada tiga tempat utama yang menjadi sasaran, yaitu: Tokyo, Osaka, dan Utsunomyia. Dan ketiga tempat itu punya kultur yang berbeda-beda, seperti halnya Tokyo yang sibuk, orang-orangnya pun dijelaskan punya budaya yang mencerminkan kotanya, berbeda dengan orang-orang di Utsunomiya yang sedikit mendusun. Kentara dalam mebangun setting tempatnya, penulis bukan saja meriset nama dan lokasi tempat, namun seolah-olah sudah pernah tinggal dan bercengkerama dengan masyarakat sekitar.

Secara keseluruhan, “All She Was Worth” diangkat berdasarkan ide yang unik. Tiap pergerakan Honma bukan serta-merta fiksi bualan, alih-alih, disokong lewat alasan dan faktor lingkungan yang relevan. Akan tetapi, “All She Was Worth” akan lebih seru jika diramu dengan genre suspense sehingga misteri yang menjadi konflik cerita tidak hanya dipaparkan, tapi turut ditangani sehingga menjadi konflik pararel yang baru.

 

2 thoughts on “All She Was Worth ‘Melacak Jejak’ – Miyuki Miyabe

  1. Ouch aku selalu kesulitan mengingat nama tokoh, apalagi kalau banyak, sering ketuker tuker. Tapi cukup penasaran juga sih, belum pernah baca detektif detektifan jepang selain conan.:))

    • Iya, sama, Kak. Apalagi namanya nama-nama Jepang. Sekali tertukar, kurang konsen, langsung bingung, ini ceritanya sampai mana ya?

      Yang ini boleh sekali dicoba. Tema dan konfliknya menarik 🙂

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s