Judul : Point of Retreat ‘Titik Mundur’ (Slammed #2)
Penulis : Colleen Hoover
Penerjemah : Shandy Tan
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Cetakan pertama, Februari 2012
Tebal : 352 halaman
Rate : 4/5
“Seorang pemuda boleh-boleh saja mengatakan cinta pada gadis yang dicintainya sampai mukanya biru. Kaa-kata tidak berarti apa pun bagai seorang perempuan bila kepalanya dipenuhi keraguan. Kau harus menunjukkan cintamu padanya.” –Point of Retret ‘Titik Mundur’, hlm. 186
Sepeninggal Julia, Layken mau tak mau harus menjadi dewasa sebelum waktunya. Ia tak bisa meniru gaya pacaran orang banyak, bercumbu mesra, selalu mendahulukan kepentingannya. Layken memiliki Kel. Begitu juga dengan Will, yang memiliki Caulder. Sebagai tetangga yang baik, pun pacar yang memahami, keduanya saling bahu-membahu menolong.
Keadaan rumah menjadi semakin sesesak dan seru dengan kedatangan tetangga baru di koridor jalan. Will dan Layken tak malu-malu lagi menunjukkan hubungan mereka di depan para adik. Namun, tanpa disangka kehadiran Vaughn, mantan pacar Will, yang tak terduga malah membuat rencana penantian Will berantakan. Layken memilih jalan paling menyakitkan, mereka terpaksa harus berpisah.
Will tak rela melepaskan gadis yang amat dicintainya begitu saja. Will bertekad memenangkan hati Layken dengan puisi. Akan tetapi, saat Layken telah memaafkannya. Hal yang lebih besar datang dan menguji hubungan mereka untuk kesekian kali.
Bukan Will namanya jika mudah menyerah. Namun, kali ini apa lagi yang harus ia perbuat?
Setelah “Slammed” dan tema cinta terlarangnya, di seri kedua, Colleen Hoover kembali mengisahkan hubungan percintaan Layken dan Will dengan tema yang lebih emosional, yang mana hubungan mereka terus diuji, diuji kembali, seiring setiap masalah datang dan pergi. Pada “Point of Retreat”, walaupun masih bergaya cerita new adult, namun tokoh dan sudut pandang yang disampaikan Colleen Hoover terasa sudah beranjak dewasa. Lebih matang dari segi pemikiran, dari segi tingkah laku, dan dari lingkungan di sekitar mereka.
Jika pada “Slammed”, pembaca disuguhkan pada tema seorang gadis dan seorang pemuda yang berjuang mendapatkan cintanya. Kali ini saat keduanya sudah mendapatkan cinta tersebut, ada hal kedua yang harus dipikirkan, yaitu konsekuensi. Dan itulah yang saya suka dari seri “Slammed” ini. Walaupun cukup banyak adegan intim yang berkeliaran pada tiap lembarnya, “Point of Retreat” tak serta-merta menjadikan hal tersebut sebagai sebuah kesenangan orang muda, tapi lebih kepada ujian. Bagaimana mereka harus memikirkan adik mereka, bagaimana jika merka ‘melakukan’-nya lantas akan mengakibatkan masalah yang lebih berat ke depannya.
Dan seperti yang kutipan Grandma kepada Will di atas, “Point of Retreat” memberikan pandangan baru tentang persoalan cinta, yang mana sering kali orang muda terlalu cepat dan mudah mengatakannya. Namun, sulit untuk menunjukkannya. Di usia yang diinjak Will sekarang mungkin ia bisa berbangga memiliki pacara sekeren Layken, punya gaya humor yang bagus, cantik, dan serba-sempurna, tetapi kadang cinta lebih perlu ditunjukkan secara tulus. Bukan mempertontonkannya kepada orang banyak dan merasa angkuh dengan rasa cinta itu sendiri.
Membaca karya Colleen Hoover rasanya seperti mendapatkan hari libur di sela tumpukan pekerjaan. Tidak perlu effort ekstra untuk mengerti. Pun begitu konflik dan masalah yang diangkatnya selalu melibatkan isu yang menarik. Saya menyukai gaya tulisannya karena dibawa dengan kalimat-kalimat yang santai, akan tetapi bersifat sangat sehari-hari. Sampai detail sekecil apa pun, ejekan setolol apa pun, dan tren-tren payah yang hanya disosialisasikan oleh grup kecil para tokohnya, semuanya ikut dituangkan ke dalam kertas. Colleen Hoover seolah membangun kerajaan kecil di puncak kepala pembacanya. Memberikan suplemen baru untuk sebuah hubungan, berikut menjadi pembacanya mata ketiga untuk ikut berkeliling ke dalam ruang tamu Will dan Layken.
Pemilihan kalimat pada gaya terjemahannya pun tidak menggunakan diksi yang berat dan sulit dimengerti, namun untuk menyensoran beberapa kata kasar dalam wujud bahasa aslinya, saya kira cukup mengganggu. Terutama terminologi “kupukupu” itu. Agaknya perlu diganti dengan istilah yang lebih pas karena kata itu betebaran dengan makna yang ganjil di tengah sebuah kalimat, padahal saya kira, seharusnya penyelipan kata tersebut pada naskah aslinya dimaksudkan untuk mengundang humor pembaca. Sayangnya, pada naskah terjemahan, hal itu menjadi gagal dimengerti.
Selanjutnya, setelah banyak mengundang misteri dengan alur maju-mundur pada “Slammed”, kali ini pada “Point of Retreat” penulisnya setia pada hal-hal yang bersifat masa depan; menunggu kejutan dan ujian. Komentar saya untuk konflik dan permasalahnnya, bisa dibilang buku ini cukup monoton di bagian depan. Nyaris seluruhnya menceritakan tentang keseharian Will dan Layken dalam menghadapi masalah dalam ‘rumah tangga’ mereka. Namun yang membuat tetap ditunggu adalah bagaimana si penulis menyamapaikannya. Sampai pada titik tertinggi dan menjadikan semuanya beres. “Point of Retreat” sungguh-sungguh menjebak saya. Dan bisa saya bilang, jika pembaca lain membaca buku ini dengan keadaan polos seperti saya, bisa dibilang buku ini bakal dinobatkan menjadi buku yang sangat emosional.
Kedua kali saya ingin membandingkan “Point of Retreat” dan “Slammed” adalah saat tahu jika sudut pandang dan tokoh dominan pada seri ini diubah 180o .Jika pada “Slammed”, penulisnya menggunakan sudut pandang Layken sebagai sosok yang emosional dan dikenal begitu mencintai ibunya. Pada “Point of Retreat”, Colleen Hoover memutarbalikkan keadaan dengan becerita lewat sudut pandang Will.
Jadi, apakah berhasil atau tidak?
Bagi saya, ada beberapa titik yang mana penulisnya berhasil mempertahankan jati diri Will sebagai laki-laki, ada juga yang meleset karena pada dasarnya Colleen Hoover punya gaya sangat perempuan dalam menerjemahkan segala sesuatu, yaitu terlalu emosional. Namun untuk satu perkara yang melibatkan hubungan mereka nyaris di ujung tanduk, saya menyukai sisi yang ditunjukkan Will, yaitu selalu mengandalkan otaknya ketimbang hatinya—naluri yang sangat laki-laki.
Namun, untuk tokoh pendukung lainnya. Saya bisa menangkap hawa cuek yang berkeliaran di antara tokoh-tokoh yang kerap menjadikan rumah Will sebagai rumah singgah: Eddie, Gavin, Kiersten. Begitu juga dengan Layken. Seperti, tokoh-tokoh yang berada pada lingkaran narator disulap Colleen Hoover menjadi tokoh yang cerkas, cuek, dan idealis. Berbeda dengan Layken pada “Slammed”.
Kendati berbeda sudut pandang, namuan Will dan Layken belum berniat melakukan perjalanan darat ke negara bagian lain. “Point of Retreat” masih mengambil latar kota Ypsilanti, Michigan sebagai pekarangan rumah mereka, namun jika dibandingkan “Slammed” yang banyak melibatkan lingkungan di luar rumah. Sebagai ‘orangtua’ baru, Will dan Layken terlalu menyukai ruang tamu dan kamar tidur mereka untuk bermesraan. Bisa dibilang cukup monoton. Kadar dari ajang slammed sebagai ruang adu puisi kesukaan Will pun kali ini tidak disebutkan sesering pada seri “Slammed” yang pertama.
Secara keseluruhan, “Point of Retreat” memang tidak seseru “Slammed” tapi bisa dibilang sekuel yang baik untuk sebuah drama penuh makna. Karena ‘cinta’ yang melatarbelakangi hubungan tokohnya bukan dituturkan sebagai ‘cinta’ yang biasa. Banyak pelajaran dan pertanyaan yang dapat mengundang pembacanya untuk kembali berpikir bagaimana ‘cinta’ yang sesungguhnya. Dan jangan takut untuk bukunya yang lebih tebal dari seri pertama, karena tanpa sadar, seseorang barangkali tidak sanggup untuk berhenti membaca.