Love in Blue City – Irene Dyah

dd2deb2c0c58d37196f7fb039e12e4d2
 
 
Judul                     : Love in Blue City
Penulis                 : Irene Dyah
Penerbit              : Gramedia Pustaka Utama
Terbit                    : Cetakan pertama, Mei 2016
Tebal                     : 236 halaman
Rate                       : 3.5 / 5
 
 

“Chefchaouen. Nama resmi kota kecil penuh pesona ini.”Love in Blue City, hlm. 2

 

Antara senang dan panik, Nada tak bisa mendeskripsikan suasana hatinya ketika Haykal, pemuda yang membuat liburannya ke Marakesh berantakan, mengajaknya bertemu. Sesuai dengan saran Hakyal kala itu, Nada memberanikan diri terbang ke Chefchaouen sehabis berkunjung ke Casablanca.

Kota itu memang biru. Sebiru hatinya ketika mendapati Haykal tak seorang diri. Namanya Noemie Anderson, seorang model belasteran Eropa dan Maroko. Tingginya jelas menjulang, hidungnya bangir, mirip wajah-wajah di teve yang melenggak-lenggok di lintasan catwalk. Haykal dan Noemie sudah berkenalan lebih lama dari yang Nada ketahui. Keduanya datang ke Chefchaouen dengan sebuah tujuan bisnis, ingin membuka butik sekaligus restoran.

Nada mulanya terlalu berharap besar, kendati benci dengan segala kepelikan Haykal, namun hati kecilnya selalu ingin menatap wajah tampannya. Sayang, liburan kala itu malah ketambahan satu kargo yang enggan lepas dari tubuh Haykal. Ke mana Haykal pergi, Noemie pasti akan berada di sana.

Dilingkupi perasaan tak berdaya Nada mencoba melupakan rasa cemburunya. Namun, tanpa disangka kehadiran Noemie di antara mereka bukan semata-mata ingin membakar amarahnya. Noemie yang merupakan model kelas dunia, malah menaruh minat pada Nada dan cara berpakaiannya.

 
 

Tak lama berjeda dari buku pertamanya dengan tema serupa, “Love in Blue City” kembali dihadirkan Irene Dyah sebagai salah satu seri “Around the World with Love”. Ketimbang tiga buku lainnya, “Love in Blue City” punya keunggulan pertama yang terletak pada pemilihan latarnya. Setelah memperkenalkan Kota Marakesh di buku pertama, Irene Dyah kembali menggali lebih dalam keeksotisan area Timur Tengah pada Chefchaouen.

Pernah mendengar namanya?

Nama Chefchaouen pun baru pertama kali saya dengar ketika membaca “Love in Blue City”. Ketika melakukan sedikit pencarian latar belakang, saya pun sama terpukaunya dengan karakter Nada, ketika pertama kali mengintip dari jendela kabin. Chefchaouen memang berwarna biru. Benar-benar berwarna biru. Dari setiap bangunan dan relik di kotanya, seluruhnya bernuansa biru. Oleh karena itu dari kejauhan, kendati mungil, Chefchaouen terlihat berbinar seperti mutiara.

Lewat pendeskripsian singkat saya mengenai Chefchaouen, tentu kamu bakal semakin penasaran dengan kota yang satu ini. Dan benar saja, jika dibandingkan dengan “Love in Marrakech”, “Love in Blue City” memang dimaksudkan penulisnya untuk mengajak pembaca berkeliling, sembari memperkenalkan wisata macam apa yang bisa dinikmati di Chefchaouen. Mulai dari keunikan kontur bangunannya, souk, hotel, lantas wisata belanja yang selalu digandrungi Rania, sahabat Nada.

Dan jika dibanding buku pertamanya pun, “Love in Blue City” punya konflik yang bersifat lebih religius. Bukan serta-merta dari segi gaya berpakaian Nada. Namun, dengan kehadiran Noemie, konflik mengenai menjadi seorang Muslim yang baik bisa dibilang merupakan penengah di samping konflik cinta yang selalu santer mengimpit pasangan Hakyal dan Nada. Lewat buku keduanya, Irene Dyah seakan menyelipkan banyak amanat yang berhubungan dengan taat beragama sekaligus bijak dalam bertingkah laku dan berpakaian. Oleh karena itu, dapat disimpulkan, jika “Love in Blue City” punya konflik dan pelajaran yang lebih rumit serta mendalam ketimbang “Love in Marrakesh”. Tapi, jangan khawatir dengan konflik yang berat tersebut, Irene Dyah selalu punya penangkal yang menarik lewat hawa roman komedi yang selalu ia hadirkan melalui tokoh Haykal.

Walau “Love in Blue City” punya penggarapan yang terasa lebih serius, Irene Dyah selalu berhasil mempertahankan gaya bahasanya yang mengalir dan enak disimak. Diksinya memang kali ini terasa lebih berat dan adapula pemilihan beberapa kata yang cukup asing. Tapi, saya menyukai gagasan diksi tersebut, yang mampu mengundang nuansa takabur dan hiperbolis. Seperti layaknya Nada selalu berbangga diri dan merendahkan Haykal. Dan menurut saya, dari dua novel karya Irene Dyah yang pernah saya baca, sungguh saya paling jatuh hati dengan gaya menulisnya pada “Love in Blue City”. Formal tapi tidak kaku, alih-alih seakan menari-nari di antara imajinasi pembacanya.

Pada “Love in Blue City” saya pun menangkap keunikan dari segi penamaan babnya. Jika di “Love in Marrkech”, Irene Dyah menggunakan nama kedua tokohnya untuk penamaan judul bab. Tapi lantaran kali ini latarnya serba-biru, judul babnya pun seakan mendeskripsikan suasana hati Nada yang didasarkan nama gradasi warna biru, ada Tiffany Blue, Midnight Blue, dan banyak lagi tentunya.

Selain diksi yang menantang, alur yang disuguhkan penulisnya pun menantang. “Love in Blue City” memberikan dampak berbeda bagi saya jika dibandingkan proses membaca “Love in Marrakech” beberapa bulan lalu. “Love in Marrakech” dan seluruh rahasia nada membuat saya sedikit jenuh dan terombang-ambing dengan sikap Nada yang cengeng dan menyebalkan di awal, hingga di tiga perempat buku, pembaca dikejutkan dengan kehadiran konflik sebenarnya yang melibatkan perihal keluarga.

Berbeda dengan “Love in Blue City” yang lebih to-the-point. Sedari awal kota Chefchaouen sudah membuat saya penasaran. Konflik pun hadir tak lama dari bagian perkenalan. Dan untuk sosok Nada sendiri, tidak perlu terlalu diperkenalkan, pembaca seakan sudah mafhum dengan sikapnya, begitu juga dengan Rania. Sehingga jika dideskripsikan dalam pola, alurnya terlihat menanjak di awal—menantang pembaca untuk penasaran dengan konflik antara Nada, Haykal, dan Noemie—namun terasa kian menurun hingga ke bagian penyelesaian.

Dan untuk kedua tokohnya, penokohan Nada pada “Love in Blue City” tidak terlalu kontras dibandingkan “Love in Marrakech”. Sikapnya yang kekanak-kanakan agak sedikit berubah setelah berjumpa dengan sosok Haykal, kendati sedikit cengeng, namun sikap menyebalkan dari Nada punya kadar yang sedikit berkurang kali ini. Begitu juga dengan Haykal. Penokohan pada Haykal dan Nada sedikit tergeser dengan kehadiran sosok Noemie, yang mana ia merupakan pendatang baru dengan sosok glamor yang berbeda jauh dengan Nada. Irene Dyah lebih memberikan fokus pada Noemie bukan serta-merta ingin menggantikan sosok Nada, tapi malah punya kejutan tersendiri dengan sosoknya yang sangat terbuka, baik dalam berpakaian, bersikap, pun bertutur kata.

Bergulir ke latar belakang tempat, Chefchaouen sudah pasti digarap dengan begitu menawan oleh penulisnya. Chefchaouen tidak saja dihadirkan hanya sebagai nama, tapi kali ini, ada beberapa tips berwisata, sekaligus berbelanja di madina (pusat kota). Sehingga bukan saja roman antara Nada dan Haykal yang bisa dinikmati oleh pemirsa, tapi juga perjalanannya.

Jika di awal saya merasa tertarik pada Chefchaouen, hingga menutup lembar terakhir, saya sungguh terpikat dengan kalimat-kalimat yang dituturkan Irene Dyah. Selain produktif, penulis kentara dapat mempertahankan kekhasan dalam bercerita. Kendati berisi roman yang klise, namun Irene Dyah mampu membuat pembaca tetap terhibur, pun berwawasan mengenai latar tempatnya.

 

Banner Diskusi Buku

 

Sudah membaca “Love in Blue City” atau penasaran dengan kisahnya? Bagi pembaca atau pun calon pembaca yang ingin tahu lebih jauh dan berceloteh panjang lebar mengenai kesan dan pesannya terhadap “Love in Blue City” dan penulisnya.

Boleh dong mengikuti bincang singkat saya bersama Irene Dyah pada Jumat, 15 Juli 2016 pukul 20.00 WIB. Cukup mem-follow akun kami berdua: @frostbitiggy dan @aikairin. Ikuti tagar yang berlaku, lalu menangkan novel “Love in Blue City” secara gratis untuk seorang penanya terkreatif.

 Bersiap untuk acaranya dan siapkan pertanyaan terbaikmu untuk Irene Dyah.

One thought on “Love in Blue City – Irene Dyah

  1. Saya memang belum membaca satu judul pun seri Around The World With Love ini. Namun saya merasa seri ini hanya memberikan deskripsi satu kota dan cerita romance. Untuk konfliknya sendiri, beberapa review yang saya baca tidak menyebutkan sesuatu yang baru yang bisa membuat saya tertarik membaca. Namun bukan tidak mungkin saya akan membaca salah satu judul untuk mencari tau kebenarannya. Hehehe.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s