Sang Guru Piano – Elfriede Jelinek

sang_guru_piano
 
 
Judul                     : Sang Guru Piano
Penulis                  : Elfriede Jelinek
Penerjemah         : Arpani Harun
Penerbit               : Kepustakaan Populer Gramedia
Terbit                    : Cetakan ketiga, Februari 2016
Tebal                     : 296 halaman
Rate                       : 4.5/5
 
 

“Erika senang memikirkan Walter Klemmer, remaja tampan berambut pirang, yang belakangan ini datangpaling awal di bagi hari dan pulang paling akhir di malam hari.”Sang Guru Piano, hlm. 29

 

Sekilas semuanya nampak baik-baik saja, Profesor Erika Kohut datang mengajar di siang hari pada Konservatori Wina. Pekerjaannya mapan dan seluruh energinya ia habiskan untuk menciptakan alunan musik indah di koridor konservatori. Lantas, siapa yang tahu jika ia menyimpan semuanya rapat-rapat seperti mengunci lemari pakaiannya jauh dari cengkeraman Sang Ibu.

Ketika malam turun, Erika mulai meniti langkahnya menuju gang becek di pinggiran Kota Wina. Erika tak peduli lagi jabatan dan martabatnya sebagai seorang guru, ia adalah seorang penggemar tontonan seks sadomasokis dan peep show. Tempat yang sesuai untuk melampiaskan hasrat seksualnya yang terpendam di bawah kecaman Sang Ibu.

Adalah Walter Klemmer, pria berambut pirang dan baru seumur jagung, yang sekonyong-konyong mendaftarkan diri menjadi murid sang guru piano. Klemmer bisa memang punya senyum yang manis, namun di balik senyumnya, hasrat seksualnya ia panjatkan tinggi-tinggi untuk sang Frau Profesor. Klemmer hanya ingin Erika melihat dirinya sebagai seorang yang cantik, sebaliknya Kohut malah menganggap dirinya sehina Sang Ibu. Ia harus dihukum. Melalui surat, Erika menuliskan hal-hal yang ia inginkan selama ini.

 
 

Semakin dilarang, seringnya manusia semakin ingin melawan, begitulah hukum yang kerap berlaku. Erika yang tengah ditekan di bawah kekuasan Sang Ibu pun diam-diam merencanakan siasat hebat itu. Seperti yang dipaparkan pada sinopsisnya, bisa dilihat jika Erika adalah seorang yang begitu sempurna di luar namun begitu menakutkan di dalam. Jika pembaca tahu isi kepalanya, pastinya mereka semua akan jijik, namun saat dibawa berkeliling melalui lorong masa lalunya, agaknya saya bisa mengerti, mengapa ia berbuat seperti itu.

Ayu Utami pada catatan editorialnya di akhir buku berkata jika buku ini adalah buku yang keras. Jika pembaca di Indonesia banyaknya dimanjakan oleh kalimat-kalimat yang manis dan puitis, “Sang Guru Piano” menyuguhkan yang sebaliknya, seperti novel Jerman kebanyakan. Lewat kalimat-kalimatnya yang tegas Elfriede Jelinek menyuarakan opini dari sudut pandang perempuan yang kerap kali ditindas dan diinjak-injak, baik oleh laki-laki ataupun oleh sebuah kultur dan ketetapan yang sudah digariskan turun-menurun. Kentara jika Ibu Erika adalah tipikal yang kedua, sedari kecil Erika ditekan habis-habisan lantaran Sang Ibu ingin anak satu-satunya memperoleh hal yang ia dambakan tanpa memedulikan perasaan Erika.

Erika tumbuh menjadi sosok yang kelam. Bahkan setelah dewasa pun, Sang Ibu menaruh rasa cemburu apabila Erika didekati oleh laki-laki dan teman yang lain. Erika sudah hidup dengan perasaan dihukum selama bertahun-tahun sehingga ia mulai terbiasa dengan hal tersebut dan melukai dirinya sendiri. Mendengar pernyataan tersebut, agaknya sebagian pembaca mulai mereguk liur. Setiap adegan sadomasokis dan kekerasan tersebut tidak disensor, alih-alih, dipaparkan secara terstruktur.

Jika bisa menggolongkan tipikal metafora yang dipakai oleh Jelinek, “mekanis” bisa jadi kata yang tepat. Tidak menyimpan keindahan, sebagaimana adegan erotis dipaparkan, semuanya dijelaskan bagaikan panduan buku manual, tanpa menyuarakan kenikmatan seks yang kerap kali dijadikan poin utama pada film ataupun cerita ber-genre serupa lainnya. Jika novel erotika ataupun roman kebanyakan mengambil analogi yang memiliki relasi dengan alam, sehingga memberikan kesan penuh damba dan berada di puncak kenikmatan, “Sang Guru Piano” malah menceritakan kisah roman Kohut dan Klemmer secara gamblang, tanpa bujuk rayu, melainkan dengan sebuah keharusan dan kesan penjajahan.

Sedikit banyak “Sang Guru Piano” mengingatkan saya pada beberapa cuplikan singkat novel “Olenka” (Budi Darma, 1986). Di setiap adegan persinggungan, Kohut dan Walter selalu saja berfantasi dengan pikiran mereka. Hal ini pun kerap menyusahkan pembaca. Tidak ada tanda petik yang menandakan percakapan langsung. Semuanya tercampur aduk antara masa lalu, masa sekarang, dan fantasi kedua tokohnya. Seperti saat tokoh “aku” pada “Olenka” bertemu dengan Olenka di lift apartemennya, “aku” sudah menaruh hati dan menjajah Olenka dalam pikirannya, pun dengan Walter Klemmer. Pertemuan pertama dengan sang guru piano, ia isi dengan pemikiran menjajah, seolah-olah melalui sebuah tatapan, Klemmer dapat mendominasi tubuhnya. Ia membayangkan semuanya dengan begitu liar dan sangat logis bagi seorang laki-laki berumur 17 tahun. Begitu juga dengan sifatnya yang eksperimental dan impulsif.

Membaca “Sang Guru Piano” merupakan tantangan sendiri bagi saya, begitu juga dengan penerjemahnya yang harus mempertahankan kekejian, kesadisan, dan kekerasan pada naskah aslinya. “Sang Guru Piano” punya gaya bahasa yang berat. Alurnya pun membingungkan, bolak-balik, antara masa lalu dan masa sekarang. Mengambil dari berbagai sudut pandang; antara pemikiran yang terpendam di kepala Erika, idealisme Sang Ibu, dan juga hasrat impulsif dari Walter Klemmer, tapi di setiap kebingungan itu selalu ada persimpangan yang bisa saya hadiri dan ikut merasa penasaran dengan titian mana yang bakal dipilih oleh setiap tokohnya. Seolah lewat “Sang Guru Piano”, Elfriede Jelinek mampu menuliskan naskah dengan alur yang berkebalikan dari novel kebanyakan. Jika novel bergaya erotis kerap disepelekan karena menomorsatukan masalah seks dan orgasme, tapi justru lewat sebuah isu yang memprihatinkan, Jelinek dan “Sang Guru Piano” malah berhasil menipu pembaca dengan plot yang tidak dapat ditebak sebelumnya. Dari sebuah wajah Erika yang begitu biasa, ia mulai mengungkapkan wajah-wajah asli dari seorang perempuan.

Tokoh-tokoh yang diciptakan Jelinek terasa hidup. Walau Erika merupakan pusat dari cerita, namun dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga, Jelinek pun turut menjelaskan maksud dan latar belakang tokoh lainnya, seperti Sang Ibu yang memendam duka; melihat suaminya meninggal di rumah sakit jiwa. Dan dari sisi depresif itu, kentara jika ia tak ingin kehilangan putri tunggalnya sama seperti ia kehilangan sang suami. Sang Ibu menjadi serba-paranoid, ia ingin Erika dipandang indah di mata orang lain, bukannya bertindak seperti orang kebanyakan, yang mana kerap kali perempuan malah jadikan budak seks oleh para lelaki.

Sebaliknya dengan tokoh Walter Klemmer, Jelinek menggambarkan sisi anak muda yang masih ingin coba-coba. Mendekati gurunya. Bermesraan dengannya. Lantas, saat ia tahu mengenai diri Erika, Klemmer hanya menganggapnya sebagai bahan canda.Walau terkesan menyedihkan, tapi sikap Klemmer bisa dibilang sangat mendekati nalar.

Dan untuk mengerti keseluruhan ceritanya, saya pun harus melakukan effort ekstra, yaitu dengan membandingkan novel “Sang Guru Piano” dengan filmnya “The Piano Teacher” karya Michael Haneke (2001). Dari gaya bahasanya yang begitu ‘mekanis’, banyak hal yang kerap saya lewatkan. Alih-alih mencoba menyimak, kadang-kadang pembaca yang pintar sekalipun bisa keliru dengan lini masa yang dimaksud oleh Jelinek, apakah Erika berada di dalam alam fantasinya atau di masa kini. Pada filmnya yang berjudul “The Piano Teacher”, sebagai sutradara, Michael Haneke memutuskan untuk mengubah setting cerita, yang mana jika di naskah orisnil Jelinek, “Sang Guru Piano” mengambil Kota Wina yang tua sebagai latar tempat, pada filmnya, kota yang digambarkan memiliki nuansa yang lebih modern. Terlihat dari tempat kumuh yang digambarkan sebagai peep show. Pada filmnya, tempat kumuh tersebut diubah menjadi distrik pusat perbelanjaan yang mana layanan peep show tersebut bisa dijangkau oleh siapa pun di tengah kota.

Dan daripada memusingkan masalah masa lalu Erika, pada film, kentara jika Michael Haneke ingin cerita yang berpusar di kepala penonton adalah masalah berdebatan mengenai hubungan dengan isu sadomasokis dari sisi Erika tanpa memedulikan masa lalunya. Dengan demikian, pembaca menjadi lebih mudah mengerti. Alurnya berjalan maju secara bertahap. Tapi, dengan dihilangkannya metafora ‘mekanis’ yang menjadi ciri khas pada novelnya, penonton dapat secara jelas menafsir tindakan-tindakan gila Erika.

Jika dibandingkan dengan novelnya, saya tidak bisa bilang jika filmnya cukup erotis. Bahkan kadar erotika tersebut terasa ditekan sedemikian rupa sehingga hawa yang tinggalkan adalah hawa janggal pada diri Erika yang mengakibatkan tanda tanya lebih besar daripada saat membaca bukunya. Kenapa Erika bisa berbuat demikian?

Peran Walter Klemmer pada buku dan film pun agak berbeda. Di buku dengan melirik ulang masa lalu Erika, Klemmer terkesan seperti sebuah hukuman yang menyenangkan bagi Erika, tetapi pada filmnya, tanpa memedulikan hal-hal di masa lalu, Erika menjadikan Klemmer sebagai sebuah tempat pelarian untuk menjauhkan diri dari ibunya.

Lantas, jika pada akhirnya saya ditanya, apakah lebih bagus bukunya atau filmnya? Keduanya sama bagusnya. Bahkan saya pun setuju jika film tersebut memenangi penghargaan pada Cannes Film Festival 2001. Tetapi, jika ingin memahami seutuhnya mengenai latar belakang kepenulisan novel ini, agaknya saya menyarankan membaca novelnya dulu. Dengan mengerti masa lalu Erika, saya rasa, pembaca baru akan bisa puas menonton filmnya lantaran dengan ditutup melalui open ending yang janggal, agaknya semuanya sudah terjawab dari permulaan cerita.

 

 

 

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s