Love in London – Silvarani

003a569bd6958536fbf8afb6f4f59c91
 
 
Judul                     : Love in London
Penulis                 : Silvarani
Penerbit              : Gramedia Pustaka Utama
Terbit                    : Cetakan pertama, Mei 2016
Tebal                     : 206 halaman
Rate                       : 3.5 / 5
 
 

“Life isn’t about waiting for the storm to pas, it’s about learning to dance in the rain. Right?”Love in London, hlm. 34

 

Memang tidak mudah untuk melupakan masa lalu bagi Bintang Ilham Prayoga, setelah diputuskan sepihak oleh perempuan yang ia cintai, kini Bintang berusaha untuk kembali bangkit dan mengambil kesempatan kedua untuk bersekolah di London. Entah ia sengaja atau tidak, tapi ia selalu ingat impian perempuan itu untuk bersekolah S-2 di kota yang kini dipijaknya.

London merupakan kota kuno yang cantik, namun tak ayal London pun ikut menariknya menemui perempuan itu—perempuan yang tak pernah ia bayangkan untuk bertemu kedua kali. Sementara terlena dengan perdebatannya di masa lalu, Bintang pun harus memilih di antara dua gadis lain yang tengah mengetuk hatinya.

Diguncang perbedaan kultur dan agama antara London dan Indonesia, Bintang berusaha teguh pada iman dan mendengarkan nasihat sang bapak. Namun, untuk menunggu kedatangan gadis yang tepat, Bintang tak bisa lagi mengulur waktu; seseorang mungkin saja bisa terluka lebih dalam di seberang sana.

 
 

Perlu lebih dari 10 jam untuk terbang ke London dari Indonesia, lantas perbedaan waktunya pun tak ayal memakan 7 jam, dan banyak lagi perbedaan lainnya yang perlu dihadapi oleh Bintang Ilham Prayoga. Pada “Love in London”, ketimbang membahas luka dalam yang dialami sang tokoh utama, rupanya ada hal lain yang ingin diungkapkan oleh Silvarani sebagai penulisnya, yaitu mengenai “perebedaan”. Dengan jarak tempuh yang jauh serta perbedaan benua yang begitu drastis, tentunya banyak sekali culture shock yang perlu dicermati, terutama jika ia seorang Muslim.

Membaca deretan kata yang dirangkai oleh Silvarani, menyimak keseharian Bintang dan kedua teman flatnya, Udjo dan Zain, sedikit banyak mengingatkan saya pada novel lain semacam “Negeri van Oranje” (2009) dan “Malam-Malam Terang” (2015). Bagaimana sekelompok pelajar Indonesia bertahan hidup di negeri orang lain, menghadapi perbedaan kultur sekaligus menguji iman untuk sedemikian rupa taat dalam beragama, sampai-sampai ada juga yang cinta lokasi alias ‘cinlok’.

“Love in London”, yang terang-terangan membahas tentang cinta, pun membahas tentang tips-tips kecil untuk bertahan hidup dengan status mahasiswa. Tidak saja mengandalkan beasiswa, namun sebagai seorang mahasiswa S-2, Bintang pun diceritakan ikut mengisi waktunya untuk bekerja paruh waktu di toko buku Old Posh milik Sir Hoffman dan menjadi mahasiswa yang aktif dalam komunitas HPI di London. Untuk sebuah rangkaian konflik yang klise dan sederhana, bisa disimpulkan kalau Silvarani cukup biaya mengisi ruang-ruang tersebut dengan latar belakang tokoh dan kegiatan yang penuh informasi.

“Love in London” merupakan tulisan pertama karya Silvarani yang pertama saya baca. Agak canggung mulanya, pasalnya Silvarani lebih suka menceritakan kisah cinta Bintang lewat sudut pandang orang ketiga dengan gaya kalimat yang pasif. Pendeskripsian batin, pun gerak-gerik seseorang lebih sering diterjemahkan dalam bentuk alegori dan analogi. Beberapa ada yang sangat menarik sehingga dapat diberi marka kuotasi. Akan tetapi ada juga beberapa bagian yang malah terasa terlalu mengulur-ngulur plot. Kelebihan kedua yang saya tangkap pada gaya berceritanya adalah dialognya yang rapi dan menari-nari. Untuk beberapa adegan antara tokoh Diva dan Bintang, sebagai orang ketiga yang serba-tahu, Silvarani dapat menjelaskan dialog antara keduanya dengan panjang lebar namun menarik. Tidak membosankan dan bertele-tele, alih-alih, seperti pendongeng, bergerak lancar dengan kalimat-kalimat yang cantik.

Jika dibandingkan dengan gaya menulis Irene Dyah pada seri “Love in Marrakech” dan “Love in Blue City”, gaya menulis Silvarani punya kesan lebih serius, melankolis, dan dewasa. Pemikiran tokohnya bukan didasarkan pada rasa cemburu seperti anak ABG (yang diaplikasi pada tokoh Nada pada “Love in Marrakech” dan “Love in Blue City”). Sebagai seorang laki-laki, Bintang lebih punya kesan karismatik yang memikirkan orang lain, seperti nasihat ayahnya, kakaknya, maupun orang lain yang lebih tua. Sehingga dapat terlihat dari gaya narasinya yang tenang, membimbing, dan mengajari diam-diam para pembacanya.

Bergerak ke bagian alur, saya sangat menyayangkan “Love in London” harus berakhir di halaman 206. Menurut saya, pembukaan yang dilakukan oleh Silvarani amatlah sukses membina pembaca masuk ke Kota London secara utuh. Bukan saja pernak-perniknya yang sangat London, tapi bagaimana kekunoan sebuah kota bergaya Victoria memang tak pernah lekang dari narasinya. Sayangnya, pada bagian konflik, plot tersebut malah terkesan belum terlalu matang dan terlalu lekas ingin dipungkas. Padahal di bagian tengah, narasi yang dirangkai oleh penulis kentara tidak hanya melibatkan tokoh Bintang seorang. Masih ada Diva, Alena, dan sahabat-sahabat Bintang yang lain. Tetapi, sayangnya, porsi dari orang-orang tersebut malah dipersingkat, sehingga menimbulkan kesan terburu-buru. Saya berharapnya, cerita ini diberi ruang lagi untuk berkembang, agar konflik hebat yang telah dirangkai oleh penulisnya memiliki tantangan baru untuk membikin penasaran para pembaca. Pastinya bakal lebih menarik lagi.

Seperti halnya kisah “Negeri van Oranje” diwarnai oleh kelima sahabat yang memiliki karakter yang berwarna-warni, “Love in London” pun menceritakan tokohnya dengan penuh inovasi. Mulai dari yang memiliki sisi finansial menengah sampai yang hanya mengandalkan beasiswa dan bekerja paruh waktu. Agamanya pun berbeda-beda. Ada yang percaya Tuhan ada pula yang meragukan. Dan itulah yang membuat “Love in London” memiliki daya pikat tersendiri di samping cerita romantisme tokohnya.

Tokoh Bintang diceritakan amat patuh pada agama, sehingga penokohannya dipenuhi ritual keagamaan, pun harapan-harapan yang dibawanya dari batin sang ayah. Namun, Diva yang memiliki gaya hidup hedonisme, tidak pernah percaya dengan yang namanya agama. Ada pula Fitri dan sederet anak-anak HPI lainnya. Penokohan yang dihadirkan Silvarani bukan serta-merta dari dialog, tapi dari kebiasaan-kebiasaan terkecil yang dibawa dari daerah masing-masing, sehingga tak perlu bertele-tele dan berlama-lama mengenal teman se-flat Bintang, semuanya langsung terasa akrab dalam waktu singkat.

Untuk sebuah kisah yang ringan, “Love in London” terbukti digarap dengan serius. Tidak meninggalkan ciri khas penulis Indonesia, tetapi hawa kota tua London langsung terasa begitu melibas halaman awalnya. Setiap relik kota yang dipilih oleh penulisnya sebagai latar tempat bisa langsung diimajinasikan dengan mudah. Bukan saja nama jalan, tetapi kontur bangunan, tipe jalan, dan toko-toko yang berjajar pun dijelaskan secara rinci.

Sembari ditemani secangkir Earl Grey di sore hari, “Love in London” bisa menjadi preferensi bacaan yang menarik. Tidak hanya bercerita mengenai roman, tetapi perihal sahabat dan iman.

 
 
Banner Diskusi Buku Love in London

 

Sudah membaca “Love in London” atau penasaran dengan kisahnya? Bagi pembaca atau pun calon pembaca yang ingin tahu lebih jauh dan berceloteh panjang lebar mengenai kesan dan pesannya terhadap “Love in London” dan penulisnya.

Mari mengikuti bincang singkat saya bersama Silvarani pada Kamis, 21 Juli 2016 pukul 20.00 WIB. Cukup mem-follow akun kami berdua: @frostbitiggy dan @silvarani. Ikuti tagar yang berlaku, lalu menangkan novel “Love in London” secara gratis untuk seorang penanya terkreatif.

 Bersiap untuk acaranya dan siapkan pertanyaan terbaikmu untuk Silvarani.

Advertisement

One thought on “Love in London – Silvarani

  1. Membaca reviewnya, saya menangkap 3 topik utama yang diramu penulis; romance, agama dan London. Ketiganya harus memiliki porsi yang sama jika penulis tidak ingin dianggap salah satu topik tadi dipaksa ditempelkan. Namun, justru saya menganggapnya penulis kewalahan meramu ketiga topik tadi sehingga ada semacam ketergesaan mengakhiri cerita si Bintang. Dan paling membuat penasaran, menceritakan cerita tokoh utama yang berbeda gender dengan penulisnya, memiliki kesulitan tersendiri. Berhasilkah penulis mengeksekusi sudut pandang gender ini? Pengen baca euy..

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s