I Was Here ‘Aku Pernah di Sini’ – Gayle Forman

7f720898c0b8ad2f02e8236ccd292653
 
 
Judul                     : I Was Here ‘Aku Pernah di Sini’
Penulis                  : Gayle Forman
Penerjemah         : Poppy D. Chusfani
Penerbit               : Kepustakaan Populer Gramedia
Terbit                    : Cetakan pertama, Februari 2016
Tebal                     : 328 halaman
Rate                       : 3.5/5
 
 

“Kau telah melakukan langkah pertama, bukan menuju kematian tapi menuju cara lain dalam menjalani hidup.” I Was Here ‘Aku Pernah di Sini’, hlm. 128-129

 

Hari itu datang tanpa disangka. Cody tak pernah tahu jika Meg menyembunyikan rencana sinting itu rapat-rapat. Membeli sebotol cairan pembersih dan menenggaknya hingga dijemput ajal. Cody hanya tahu jika Meg adalah sahabatnya yang amat beruntung—memiliki keluarga yang lengkap, beasiswa di universitas yang bergengsi, dan laptop yang super duper canggih.

Cody marah sekaligus merasa bersalah. Pertanyaan itu kembali menghantuinya: mengapa? Mengapa Meg memilih jalan itu untuk pergi dari sisinya? Dan mengapa sebagai sahabat dekatnya, Cody tak pernah tahu, jika Meg sudah merencanakan langkah-langkah hebat itu dari jauh hari?

Ketika Cody diminta keluarga Gracia untuk mengemasi barang-barang Meg di Tacoma. Cody baru sadar jika banyak hal yang tak ia ketahui mengenai gadis itu setelah kepindahannya ke universitas ternama. Tentang sahabat barunya yang tinggal seatap dengannya; dan tentang seorang cowok bernama Ben McAllister, yang memiliki band keren dan berhasil membuat Meg kecewa menjelang ajalnya.

Di saat bertemu Ben sehabis konser, cowok itu secara tidak langsung membuat Cody menjaga jarak dan menuai curiga. Namun, di saat yang nyaris bersamaan Cody pun malah berkomplot dengannya untuk membuka sebuah file bersandi di laptop milik Meg.

Mulai dengan meminta bantuan Harry Kang si Jenius Komputer, hingga Cody pun tak ayal terdampar pada sebuah situs bertajuk Solusi Final. Kini di antara teka-teki dan kenyataan, Cody semakin meragukan semua pengetahuannya tentang sahabat baiknya sedari kecil.

 
 

Semenjak kemunculan tulisan hits-nya yang bertajuk “If I Stay”, Gayle Forman memang mulai diidentikkan dengan tulisan-tulisan berbau ‘kematian’. Berselang dari seri “Just One Day” dan “Just One Year”, karya terbarunya yang rilis tahun lalu rupanya kembali terinspirasi oleh kematian seorang gadis berumur sembilan belas tahun, bernama Suzy Gonzales yang memilih jalur bunuh diri untuk mengakhiri hidupnya. Gayle begitu menyayangkan kehidupan seorang Suzy, yang mana gadis itu hidup dengan karakter yang cerdas, kreatif, dan karismatik—bukan tipe gadis remaja yang impulsif dan berencana pergi sewaktu-waktu dengan jalur yang tidak lazim.

Suzy Gonzales bertransformasi menjadi karakter Megan Gracia—alias Meg. Seorang gadis yang penuh kejutan, unik, dan amat sangat beruntung. Meg memilih pergi tanpa memberi tahu siapa pun, dan tiba-tiba saja meninggalkan sebuah surel sehari setelah kematiannya kepada sang sahabat, Cody—seorang gadis yang rapuh, pemarah, dan memiliki keluarga yang hancur berantakan.

Mulai dari sana, teka-teki pun bergulir. Di salah satu bagian pada “I Was Here” yang di dalamnya membahas tentang sebuah protal fantasi bertajuk Solusi Final, bagian tersebut bisa dibilang punya gagasan yang mirip dengan novel “By The Time You Read This, I’ll Be Dead” (Julie Anne Peters, 2010). Pada novel karangan Julie Anne Peters tersebut, karakter utamanya pun digambarkan mencari solusi atau tips yang tepat untuk bunuh diri. Mereka berbagi cerita dalam sebuah forum, terlibat argumen, dan bisa juga saling mengintimidasi serta memberikan saran yang tepat untuk cepat mati tanpa merasakan sakit. Namun, yang unik dari “I Was Here” adalah keterlibatan tokoh Cody, yang secara tidak langsung menjadi ‘korban’ setelah kepergian Meg. Cody ditempatkan sebagai orang ketiga yang merasa tahu segalanya, secara ia tumbuh bersama dan melihat Meg berkembang dari kecil hingga masuk ke universitas ternama. Lantas, kini ia akan mengeluarkan jurus-jurus terjitunya untuk mengungkap hal-hal yang ganjil dari kematian Meg yang mendadak. Pada situasi inilah, Gayle Forman bergeser dari tipe melankolisnya yang ia pakai dalam membentuk karakter Mia, menjadi karakter yang digunakan John Green pada karakter Pudge dalam mencari alasan dari kematian Alaska (Looking for Alaska, 2005)—emosional, frustasi, dan penuh dengan rasa penasaran.

Di satu sisi, ide yang diangkat Gayle Forman terasa terombang-ambing di bagian awal. Namun, di sisi lain, cerita malah beranjak seru di bagian pertengahan. Kendati demikian, hal yang paling saya sukai dari “I Was Here” adalah gaya menulisnya yang komunikatif. Walaupun Meg dijadikan sebagai sahabat yang telah pergi, tapi tiap aksi Cody selalu saja dilandaskan oleh pemikiran Meg. Ada kesan melankolis yang disiratkan oleh Forman sama seperti saat ia menulis seri “If I Stay” dan “Where She Went”, ada pula kesan enerjik yang terpancar dari narasi seorang Cody, yang mana ia hidup di tengah situasi yang menjadikannya kuat dan terpaksa dewasa sebelum waktunya.

Secara alur, “I Was Here” memang terbilang agak lambat. Di bagian awal, penulis terlalu banyak membahas hal-hal yang berbau internal, mengenai Cody, Cody, dan Cody lagi. Namun, di sisi lain, dengan pembahasan tersebut karakter Cody yang samar menjadi muncul dengan sendirinya. Tanpa sebuah narasi yang gamblang tentang diri Cody, pembaca secara tidak langsung tahu, ia adalah gadis yang kuat, tumbuh di tengah keluarga yang tidak sempurna, ibu yang sering bergonta-ganti pacar. Dan jika diberikan pilihan untuk mengakhiri hidup, seharusnya bukannya Cody yang maju, bukannya Meg?

Namun, dengan mengesampingkan pertanyaan spontan itu, saya sudah menduga jika Cody akan bertemu dengan seorang cowok (terlepas sudah ditulis pada sampul bukunya). Kehadiran sosok Ben bisa bilang punya alur dan karakter setipe dengan Adam pada seri “If I Stay”. Cowok yang tenar, punya band, dan punya komunitas yang bergaya hidup bebas. Hanya saja yang membuat saya agak kecewa dengan alur “I Was Here” adalah beberapa titik yang membuat kedua karakternya bersama. Banyak hal yang menurut saya terlalu terburu-buru dan tidak relevan. Tidak seperti hubungan Mia dan Adam pada “If I Stay”, yang mana hubungan keduanya secara konsisten disorot dan terlihat terus menanjak hingga akhirnya mereka memutuskan untuk bersama. Pada “I Was Here”, mungkin saja yang saya rasakan, Cody terlalu sering disela oleh permasalahannya dengan Meg, dan rasa bersalah yang terus menurus ia rasakan ketika berada di dekat Ben—Ben seperti terus meningatkan Cody tentang diri Meg.

Dari pembahasan panjang lebar mengenai ide dan alurnya yang terlihat cukup biasa, “I Was Here” toh tetap dapat menghibur saya melalui para karakternya. Cody, Meg, Ben, bahkan Richard Stoner dan Alice sekali pun seakan punya andil yang berbeda dan terasa kuat di tiap babaknya. Mulai dari narasi terkecil—seperti tentang rumus empiris racun yang ditenggak oleh Meg—Gayle Forman dengan piawainya bisa menjelaskan kalau Meg memang ‘berbeda’. Ia hidup secara bebas, berpemikiran jauh dari orang-orang sepantarannya, bahkan selera musiknya pun selalu gress dan mencari yang baru. Walau begitu lewat orang-orang di sekitarnya, Sue dan Joe, sebagai ibu dan ayah, dan Scottie (adik laki-lakinya). Pembaca bisa merasakan perbedaan yang dialami oleh karakter Meg dan Cody. Meg hidup dengan dikelilingi keluarga yang baik hati dan hangat, sedangkan Cody hidup dengan hanya mengenal ibu yang bergonta-ganti pacar tiap malam, sehingga lewat karakternya saya pembaca sudah bisa melemparkan tanda tanya kedua.

Begitu juga dengan karakter Ben. Hidupnya yang bebas bukan saja diceritakan dari sisi pergaulannya yang akrab dengan band dan rokok. Tapi, dari lingkungan tinggalnya, lantas hubungannya yang intim dengan Meg.

Dari ketiga karakter utamanya, yang bisa saya simpulkan, Gayle Forman tidak hanya menulis cerita berdasarkan alur, tapi berdasarkan penokohan yang gemilang. Tokoh-tokohnya bukan saja digunakan sebagai bidak, tapi menjadi sebuah individu yang nyata dan dapat bereksplorasi di otak para pembacanya.

Selain terpukau dengan karakter Meg, nama Tacoma agaknya turut menggelitik jemari saya untuk melakukan pencarian kecil-kecilan di Google. Tacoma yang menjadi latar utama sekaligus lingkungan baru bagi Meg merupakan kota kecil di negara bagian Washington. Setelah menggunakan Portland sebagai latar utama pada “If I Stay”, kini Gayle Forman kembali mengambil latar yang kental dengan budaya musik keras, jadi tak heran dengan kemunculan karakter Ben dan juga selera musik unik Meg. Selain mengangkat Tacoma, Cody pun diceritakan bekerja dan menghuni kota Seattle, yang mana sudah jelas dan kontras jika kota tersebut telah mendunia lantaran budaya musik grunge-nya.

Walau jika disuruh memilih antara “If I Stay” dan “I Was Here”, saya masih menyukai alur berliku yang disajikan Gayle Forman pada “If I Stay”. Namun, “I Was Here” merupakan tipikal novel yang bisa dibaca dengan santai, tidak terlalu mengoyak emosi, namun di titik-titik tertentu, kalimat Forman masih mampu menghipnotis para pembacanya.

 

12

 

Menutup ulasan ini sekaligus ingin berterima kasih juga pada pihak SCOOP lantaran sudah memberikan buku ini secara cuma-cuma untuk diulas di Jane and Her Bookienary. Membaca dengan layanan ebook memang bukan pertama kalinya bagi saya, tapi jika membaca sampai tuntas pada aplikasi SCOOP, bisa dibilang ini pertama kalinya.

Kendati sudah beberapa bulan silam saya menimbun buku elektronik dalam ponsel. Namun, satu pun belum saya pernah baca. Dan “I Was Here” merupakan buku pertama. Kesannya … tidak buruk. Bahkan sangat praktis. Terlebih dengan kesibukan saya yang makin menjadi dan mendekati hari kepindahan saya dari Indonesia. Aplikasi SCOOP ini amat sangat membantu saya untuk terus tetap semangat membaca. Sedikit-sedikit saya bisa membaca di mana pun tanpa perlu membawa hardcopy fisik yang tebal dan menyesakkan tas seperti sebelumnya, belum lagi sampul buku menjadi sering terlipat jika berdesakan dengan muatan lainnya.

Nah, dan melalui program kerjasama dari SCOOP dan para blogger buku di Indonesia, saya pun mau berterima kasih karena telah memudahkan saya dalam berbelanja buku. Khususnya berbelanja buku lokal dan terjemahan Bahasa Indonesia. Karena ke depannya pastinya dengan tidak berada di Indonesia, saya akan sulit mencari buku terjemahan maupun lokal.

SCOOP justru hadir menjawab kebutuhan saya, yang telah saya khawatirkan berbulan-bulan lalu. Etalase SCOOP selalu dipenuhi dengan pajangan buku-buku terbaru dan tentunya harga yang lebih terjangkau serta diskon yang menarik apabila dibandingkan dengan buku-buku fisik yang di etalase toko buku.

Saya ingin minta maaf sebelumnya apabila kecepatan membaca buku saya berkurang di bulan Agustus ini. Sekalipun tak lagi bisa mencicipi buku fisik ke depannya, namun saya masih akan terus mencari celah untuk selalu membaca karya-karya terbitan lokal, salah satunya dengan menggunakan aplikasi SCOOP ini.

Sekali lagi, terima kasih, SCOOP. Dan untuk teman-teman yang ingin juga mencicipi buku elektronik pertamanya seperti saya. Sila di-klik banner manis di atas, yang secara otomatis akan langsung terhubung dengan tautan toko buku virtual terlengkap di Indonesia.

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s