Judul : Kim Jiyoung, Born 1982 ‘Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982’
Penulis : Cho Nam-joo
Penerjemah : Iingliana
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Cetakan pertama, November 2019
Tebal : 192 halaman
Rate : 4/5
Kim Ji-yeong lahir pada 1 April 1982 di Seoul. Ayahnya adalah seorang pegawai negeri dan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga. Kim Ji-yeong memiliki seorang kakak perempuan yang usia dua tahun lebih tua darinya dan adik laki-laki yang usianya lebih muda lima tahun darinya. Sedari kecil, ayah dan neneknya sangat memanjakan si bungsu, Ji-seok, sedangkan sang kakak, Kim Eun-yong dan dirinya selalu dicela. Ji-seok tidak perlu repot-repot membantu ibu di dapur karena ia seorang laki-laki.
Kim Ji-yeong dan Kim Eun-yong tidak pernah iri dengan si adik karena ibu selalu memuji mereka berdua. Walaupun ganjil, namun itulah yang terjadi. Ibu tidak bisa menyalahkan sikap nenek. Karena ia pun pernah berada di posisi Ji-yeong dan membanting tulang untuk menyekolahkan saudara laki-lakinya. Ibu tidak pernah menyenam pendidikan tinggi, kendati dulu ia pernah bermimpi menjadi guru, tapi toh akhirnya ia pun menikah. Ia harus melupakan mimpi itu jauh-jauh.
Ibu boleh saja menerima perlakuan seperti terhadap dirinya, tapi ia tidak ingin Ji-yeong menjadi dirinya. Ia ingin Ji-yeong melakukan hal yang sukai dan meraih mimpi-mimpinya. Ji-yeong pun melamar di sebuah agensi marketing. Tulisan-tulisannya dipuji oleh sang atasan. Hingga akhirnya ia menikah. Lalu, memiliki seorang putri.
Kehidupannya pun berubah. Di umur pernikahannya yang ketiga, Jung Dae-Hyeon, sang suami sering mendapati Ji-yeong seperti kerasukan. Awalnya ia pikir, Ji-yeong tengah bercanda, tetapi lama-lama hati kecilnya merasa takut, apa yang sebenarnya terjadi dengan Ji-yeong? Mengapa ia tidak lagi tersenyum seperti dulu?
“Dae-hyeon, akhir-akhir ini Ji-yeong sedang sedih. Secara fisik dia memang sudah membaik, tetapi pikirannya resah. Sering-seringlah kau menghibur dan berterima kasih kepadanya.”
—Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982, halaman 11-12
Ide membaca “Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982” sebenarnya sudah muncul dari beberapa bulan silam. Buku ini memang sempat menjadi topik yang panas diperbincangkan di Negeri Ginseng sana, terlebih saat adaptasi filmnya diperankan oleh aktor ternama, Gong Yoo. Tapi, bagi saya, rasa penasaran itu sendiri muncul dari seorang guru yang saya kenal. Ia adalah seorang wanita paruh baya asal Korea Selatan dan memiliki seorang anak perempuan. Saat beberapa kali saya bersinggah ke rumahnya, ia selalu memasak dan menyuguhkan makanan. Di Taiwan, nyaris tidak ada ibu rumah tangga yang memiliki keseharian untuk memasak di rumah, tetapi berbeda dengan guru saya. Ia adalah orang sangat pandai memasak, tipikal ahjumma yang kerap kita temui di drama-drama Korea.
Suatu kali saya bertanya tentang bagaimana ia bisa pandai memasak seperti sekarang ini, lalu ia pun bercerita tentang hari besar Chuseok di Korea Selatan yang mengharapkan menantu perempuan dan ibu mertua untuk selalu menghidangkan kudapan untuk tamu yang datang dari pagi hingga malam. Jadi, mau tak mau, ia pun dipaksa untuk bisa memasak.
Di dalam “Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982”, ada satu adegan di awal cerita yang persis menarasikan tentang kisah yang terjadi pada guru saya. Setelah saya membaca buku ini, saya mengerti karena bisa dibilang “Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982” tidak hanya menceritakan tentang suara hati Kim Ji-Yeong tetapi nyaris seluruh perempuan di negeri Ginseng sana. Dan mungkin para perempuan Asia.
“Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982” adalah sebuah novel, tapi sebagian narasinya bergaya seperti kolom opini. Cho Nam-joo menceritakan semuanya dengan bukti yang dikutipnya dari berbagai sumber. Kim Ji-Yeong memang sebuah toko fiksi, tapi seluruh plot yang ia lalui adalah nyata dan dirasakan oleh para perempuan. Dan yang lebih mengenaskan, seluruh rangkaian hidup itu terjadi seperti sebuah siklus. Sedari dulu kelahiran anak perempuan tidak pernah disambut dengan hangat oleh seluruh anggota keluarga, perempuan tumbuh besar dan diharapkan untuk membantu ibu di dapur, tapi di era modern, pendidikan pun sangat penting, jadi perempuan pun harus rajin belajar dan menjadi nomor satu di kelas, tapi saat usai mengenyam pendidikan tinggi, perempuan tetap tidak bisa meraih mimpi mereka, mengapa? Karena para orang tua mereka berharap perempuan segera menikah dan memiliki anak.
Ada perempuan yang beropini lain dan ingin membangun karier pekerjaan mereka, kenyataannya masyarakat sama saja ingin menjatuhkan perempuan. Alasan pertama, lantaran ketidaksetaraan upah yang perempuan terima. Laki-laki nyatanya menerima upah yang jauh dari lebih tinggi dari perempuan. Alasan kedua, masyarakat seperti sudah mematok, perempuan hanya akan bekerja dalam satu dua tahun pertama, setelah itu, mereka akan menikah dan tidak akan meneruskan karier mereka, lantas untuk apa mereka menerima karyawan perempuan.
Kisah Kim Ji-yeon dalam “Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982” sengaja diceritakan dari sudut pandang orang ketiga. Narasi yang digunakan tidak mendayu-dayu. Tidak ada deskripsi puitis yang menggambarkan perasaan Kim Ji-yeon. Semuanya sangat dibuat praktis dan cepat. Cho Nam-joo semata-mata menggunakan riwayat hidup Kim Ji-yeon untuk menampar masyarakat Korea Selatan Selatan yang selalu mewajarkan praktik patriarki dalam budaya mereka. Kendati, di era milenial Korea Selatan telah disokong dengan beberapa undang hukum tertulis untuk melindungi hak perempuan, namun nyatanya, perempuan masih saja menjadi bahan bulan-bulanan dan dikodratkan untuk menikah dan mengasuh anak di rumah.
192 halaman dari buku ini terasa bisa membahas tuntas tentang keluh-kesah dari Kim Ji-yeong tentang ketidakadilan yang melanda hidupnya. Namun, tidak terlalu tuntas dalam membahas tentang penyelesaian gangguan kejiwaan yang menimpa dirinya.
Berbeda dengan filmnya, setelah menikmati bukunya, saya pun penasaran ingin melihat visual yang terjadi di setiap adegannya. Ada yang berbeda antara film dan buku “Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982”, yang paling terasa kontras adalah tentang narasinya, filmnya sangat kental dibumbui nuansa melankolis, yang sayangnya, hampir tidak terasa dalam bukunya. Walaupun di buku Cho Nam-joo bercerita lebih detail tentang alur hidup Ji-yeong, tapi lewat bukunya, serta-merta ia ingin berbicara soal fakta.
Dan jika di dalam buku Jung Dae-hyeon ceritakan sangat minim dan sedikit acuh tak acuh, dalam film “Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982”, aktor Gong Yoo memerankan Dae-hyeon yang sangat perhatian dan amat sangat khawatir tentang keadaan istrinya, sehingga ia terus mendesak Ji-yeong untuk pergi menemui psikiater.
Lantas, yang terakhir adalah bagian penutup. “Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982” versi film tidak menyuguhkan open ending kepada pemirsa, mereka seperti lekas mencari jalan keluar sehingga filmnya pun dikemas sebagai cerita yang utuh dan bahagia.
Jika, ingin membandingkan mana yang lebih bagus. Film dan buku “Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982” memiliki tujuan yang berbeda, Cho Nam-joo dan bukunya, ingin membeberkan fakta pahit tentang ketidakadilan praktik patriarki di Korea Selatan. Namun, filmnya memiliki sentuhan indah untuk membuat penontonnya berlinang air mata. Dan tidak hanya tersentuh dengan karakter Kim Ji-yeong, tapi juga Jung Dae-hyeon.
Halo, Jane. Senang bisa membaca tulisan kamu lagi, walaupun sebenarnya jeda waktunya cukup lama juga.
Kalau dari ulasan kamu, aku pikir poin/garis besar cerita tidak terlalu berbeda antara film dan bukunya. Jujur aku masih belum kepikiran membaca yang versi bukunya setelah nonton filmnya sampai habis. Yup. aku tahu tentang Kim Ji Young ini cuma lewat filmnya saja, dan aku pikir filmnya pun sangat bagus, ia mampu menggambarkan dan mewakili keresahan wanita-wanita Korea dan Asia dengan sangat baik. Dan kritik dari filmnya pun menurut ku bisa menjadi tamparan untuk masyarakat di manapun yang masih kental budaya konservatif dan patriarkinya, yang secara tidak langsung menurutku seakan turut mengkerdilkan peran perempuan.