86 – Okky Madasari

 
 

Judul                     : 86
Penulis                 : Okky Madasari
Penerbit              : Gramedia Pustaka Utama
Terbit                    : Cetakan kedua, April 2014
Tebal                     : 256 halaman
Rate                       : 4.5 / 5

 

“Sudah nggak usah sungkan-sungkan. Memang kita baru kenal, tapi ya sama-sama tahulah, delapan enam aja deh!”86, hlm. 94

 
 
Berangkat dari generasi keluarga petani, orangtua Arimbi bangga bukan kepalang, anak perempuannya bisa menjadi juru ketik di pengadilan negeri. Bukan menjadi buruh, tapi menjadi pegawai kantoran. Tiap pagi berjibaku menembus gang sempit, berdesak-desakan menaiki metromini, Arimbi terkadang bingung, mengapa semua orang di kampung mengelu-elukan jabatannya yang sekadar juru ketik.

Tapi, bagi semua orang, mereka menganggap tak ada yang tak bisa dilakukan oleh pegawai pengadilan. Mulai dari berprofesi sebagai juru ketik biasa, diam-diam lingkungan menghasutnya, Arimbi yang polos tak lagi punya urat malu seperti Anisa dan Bu Danti. Semua orang sudah keburu tahu, tak perlu ditutupi dan pura-pura tak ingin. Kalau ingin segalanya licin dan berjalan sesuai rencana, tinggal geser amplop dan buat skenario.

Pejabat bisa lolos dengan mudah, semuanya hanya tergantung pada uang pelicin. Arimbi yang mulanya duduk-duduk di ruang pengadilan, lama-kelamaan tahu, semuanya sudah dirangkai sesuai rencana. Tangannya tak lagi sekadar menari di atas keyboard, ia pun ingin minta bagian.

Read More »

Maryam – Okky Madasari

 

Judul                     : Maryam
Penulis                  : Okky Madasari
Penerbit                 : Gramedia Pustaka Utama
Terbit                     : Cetakan pertama, Februari 2012
Tebal                      : 280 halaman
Rate                       : 4 / 5

  

“Kalau memang kita seagama, kenapa pula aku harus meninggalkan semuanya?”—Maryam, hlm. 40

 

Maryam pulang tanpa harap. Ia hanya rindu. Hatinya kecewa saat menapakkan kaki di kampung halamannya. Lombok sudah banyak berubah. Lima tahun menghuni Jakarta, Gerupuk tak ingat lagi padanya. Nama Khairuddin pun hanya satu dua orang tetangga dekat yang tahu.

Lima tahun lalu Maryam nekat untuk kawin lari. Menikah dengan pemuda bernama Alam, yang bukan Ahmadi. Maryam selalu berpikir, kendati status keagamaan mereka berbeda, tapi agama mereka tetaplah sama. Sama-sama mengaji, sama-sama berdoa, tapi mengapa semua orang menatapnya sebagai seseorang yang kerasukan? Agama yang sesat, yang perlu dijauhi.

Keadaan di kampung halamannya tak jauh berbeda, para tetangga murka saat tahu keluarga Maryam yang merupakan Ahmadi, mereka mengusir ibu, ayah, serta adik perempuannya dari rumah warisan kakek. Maryam bercucuran air mata menemui mereka di Gegerung, mengungsi kendati tanah dan rumah itu adalah hasil keringat ayah mereka sendiri.

Maryam sudah enggan kembali ke Jakarta. Kupingnya panas mendengar gunjang-ganjing ibu mertuanya yang sebentar-sebentar menyinggung agama lantaran menginginkan keturunan. Ibu Alam minta Maryam didoakan, barangkali ia sesat. Maryam tak bisa tinggal diam. Hatinya kecewa. Apa semua orang di dunia akan menilainya begitu lantaran ia seorang Ahmadi?

  

Read More »