Judul : Amora Menolak Cinta
Penulis : Rainy Amanda
Penerbit : Penerbit AB (Self-Published)
Terbit : Cetakan pertama, September 2015
Tebal : 252 halaman
Rate : 3.5 / 5
“Cinta itu gak ada. Itu Cuma reaksi kimia dari otak. Efek dari reaksi memori, persepsi, dan hormon.” –Amora Menolak Cinta, hlm. 111
Amora tidak percaya dengan yang namanya cinta. Ketika Erin merengek karena putus dengan Shinji. Amora benar-benar tak habis pikir dengan pola pikir sahabatnya yang absurd itu. Ada apa sih dengan cinta? Kenapa harus sampai ditangisi begitu? Bagi Amora, Erin yang bodoh. Sudah tahu Shinji adalah playboy bermulut manis, tapi malah tetap didekati.
Oleh karena itu … jauhi Shinji. Tidak perlu dekat-dekat apalagi menggubris obrolan-obrolannya. Namun, entah kenapa Shinji malah tidak pernah bosan menjahili dirinya?
Terjebak dalam fakultas Biologi, Amora dan Shinji membagi tempat di kelompok OSPEK jurusan yang sama. Setelah insiden pelemparan kotak susu moka yang tidak sengaja mengenai wajah Shinji, Amora tidak bisa pura-pura tidak merasa bersalah. Dan di lain sisi, Shinji pun malah menjadikan hal itu sebagai media untuk mendekati Amora.
Jadi, apa benar Shinji seorang playboy?
Jangan-jangan itu hanya premis Amora sendiri. Terus, kenapa juga ia jadi memikirkan Shinji? Duh, Amora tak mungkin kan menjilat ludahnya sendiri dan malah menyangkal hal-hal yang dibacanya pada kitab “Science of Love”?
Novel self-publishing memang punya impresi yang kerap disepelekan pembaca di Indonesia. Apalagi dengan bermunculan buku-buku bagus dari penerbit mayor, tapi di era global ini tidak jarang juga penulis yang menerbitkan karyanya secara bebas di website tidak berbayar seperti Wattpad dan Storial. Walaupun tidak dipajang secara besar-besaran di rak toko buku besar, tapi sebagai pembaca, perlu pastinya untuk mengapresiasi karya self-publishing seperti yang diluncurkan oleh Rainy Amanda.
“Amora Menolak Cinta” punya cover yang menarik menurut saya. Bukan tipikal ilustrasi—yang seringnya terbersit di benak saya untuk buku self-publishing—yang digarap asal-asalan. Malah mulanya saya kira, “Amora Menolak Cinta” diterbitkan oleh salah satu penerbit mayor yang terkenal.
“Amora Menolak Cinta” mengangkat tema yang unik. Kalau kemarin saya sudah membaca “The Rosie Project” karya Graeme Simsion yang mencari cinta lewat teknik metodologi ilmiah. Rainy Amanda dalam “Amora Menolak Cinta” mengajak pembaca bernostalgia dengan dunia biologi semacam SMA. Yang tentunya ditaburi bumbu-bumbu cinta.
Sosok Amora dalam “Amora Menolak Cinta” adalah seorang mahasiswa jurusan Biologi di sebuah universitas, Universitas Negari Bandung. Oleh karena itu, jangan heran kalau setiap ia berpikir, berpaling, atau mengerling, yang muncul adalah perkara biologi. Membaca “Amora Menolak Cinta” mengingatkan saya akan kata-kata guru saya dulu, jika di sekeliling kita adalah biologi, kimia, dan fisika. Maka benarlah. “Amora Menolak Cinta” menggabung-gabungkan kejadian sehari-hari seorang Amora, yang kali ini tengah menjadi ‘mangsa’ Shinji—si playboy kampus—dengan perihal biologi.
Jangan berpikir terlalu persimis. Bagaimana caranya cinta bisa digabungkan dengan biologi? Well, nyatanya Rainy Amanda punya jurus jitu yang tanpa sadar meramu keduanya menjadi hal-hal yang lucu dan manis. Mirip perpaduan yang sering disuguhkan film-film komedi romantis. Seperti kejadian yang melibatkan menstruasi, cara bekerja hormon, dan kelenjar-kelenjar lainnya. Hal-hal logis macam itu bisa lho ternyata punya logika tersendiri dalam menjelaskan munculnya sebuah emosi.
Jika dalam hal biologi, pola pikir Amora bisa disinggung dengan rumit. Ringkasnya, Amora punya penyakit yang kerap dilanda oleh para remaja, yaitu: takut jatuh cinta. Tapi, kenapa bisa demikian? Apa yang membuatnya takut dengan cinta tersebut sampai-sampai Amora hanya sanggup menyebut ‘cinta’ sebagai sebuah reaksi kimia tubuh?
Membahas perkara Biologi, pembaca tidak perlu takut sesungguhnya, gaya bahasa Rainy Amanda sangat mudah dipahami. Terminologi Biologi yang dipakainya bukan dengan hitung-hitungan, perbandingan, dan riset mendalam seperti yang disajikan Graeme Simsion dalam “The Rosie Project” yang mana tokohnya adalah seorang profesor ahli genetika. Maklumlah, Amora baru masuk kuliah tahun pertama. Lingkungannya masih ramah, gegabah, dan mudah galau. Tapi, karena ini lagi-lagi menyangkut perkara Biologi, semuanya pun dibikin simpel, mirip istilah-istilah Biologi yang pada umumnya dipelajari saat SMA. Bahkan analogi-analoginya, bukan sesuatu yang memaknai hidup lewat hal-hal yang puitis yang muluk-muluk, alih-alih membikinnya sesuai dengan perkara-perkara yang dijumpai pada buku cetak Biologi.
Dengan pengambilan setting di Kota Bandung, Rainy Amanda meralisasikan suasana Sunda pada percakapan antar tokohnya. Sayangnya, saya berharap penulis menyelipkan lebih banyak catatan kaki terhadap artinya. Untuk pembaca yang bukan orang Sunda, pastinya bakal sedikit kebingungan membaca potongan istilah-istilah lokal yang sering digunakan dalam “Amora Menolak Cinta”. Dan untuk beberapa penggunaan pungtuasi pun sepertinya masih perlu diperhatikan lagi dalam hal penyuntingan. Namun, untuk sebuah buku debut karya self-publishing, “Amora Menolak Cinta” terbilang amat sangat layak untuk dibaca.
“Amora Menolak Cinta” memiliki alur yang cenderung maju. Ada beberapa yang disinggung Rainy Amanda tentang latar belakang tokohnya. Namun, napak tilas tersebut terasa mulus, tidak sengaja membawa pembaca ke masa lalu, tepat ketika Amora bertemu cinta pertamanya, lantas cerita yang mengharukan tentang pertemuan kedua orangtuanya. Sayang pada bagian pertemuannya dengan Daniel, Rainy Amanda menggunakan font italic untuk memebdakan cerita. Sesungguhnya, preferensi saya lebih mengarah ke cerita-cerita yang tidak secara langsung dipisahkan. Bakal lebih oke dan menyantu apabila disajikan dalam bentuk dialog atau bernostalgia dengan barang-barang peninggalan orang tersebut di masa kini.
Dan karena cerita “Amora Menolak Cinta” berkisah tentang seorang maba ‘mahasiswa baru’, alurnya pun terasa beranimo. Bukan mendayu-dayu tipikal melodrama, tapi Amora memang bisa menjelma menjadi orang yang opitimis kalau menyangkut perihal Biologi.
Pada bagian penokohan, “Amora Menolak Cinta” tentunya menceritakan kisahnya lewat sudut pandang Amora. Dan saat pertama kali tertarik dengan ilustrasi lucu di covernya, saya tidak menyangka kalau Amora yang diceritakan memang bersosok mirip ilustrasi itu. Berambut keriting—nyaris kribo dan selalu saja bersikap tidak pede. Karakter-karakter Amora dijelaskan dengan piawai lewat monolog dan dialognya, yang mana ia pandai pada pelajaran Biologi sedari SMA. Tetapi pesimis tentang masalah cinta. Kedua perihal tersebut tidak dijelaskan hanya sekadar pernyataan di masa kini, tapi lewat napak tilas yang dibangun Rainy Amanda, semua tingkah laku dan keputusan yang diambil Amora terasa relevan dengan apa yang telah dilalui sebelumnya. Dan untuk melengkapi tokoh Amora yang selalu bersikap logis, saya senang sekali dengan keberadaan buku “The Science of Love”. Kitab yang selalu disinggung oleh Amora kalau sedang berhadapan dengan ‘cinta’. Walau sepele, tapi terasa menjadi pelengkap penokohan Amora yang lucu.
Dan seperti halnya Don Tillman dalam “The Rosie Project”, untuk menilai keanomalian pada diri Amora, tentunya perlu lingkungan sekitarnya yang tak kalah seru. Dengan keberadaan tokoh Erin, contohnya. Juga tokoh Shinji yang punya kepribadian mirip Rosie (The Rosie Project, 2013). Yang bertindak dengan cuek, suka-suka sendiri, sehingga menjadi pribadi yang penuh kejutan. Karakter Shinji dijelaskan dengan dua teknik. Dramatis dan cara Amora menggambarkan percakapan dan hal-hal yang terjadi di antara mereka. Tapi, sebelum itu, Amora sendiri menjelaskannya dengan analitik—langsung mengecap Shinji sebagai playboy. Lantas, pembaca pun jadi mempersempit pikirannya, tidak menyangka kalau Shinji akan melibatkan dirinya cukup dominan.
Sayangnya, sebagai tokoh pendukung dan sahabat Amora. Saya pribadi kurang menyukai Erin. Menurut saya karakternya tidak pas jika disandingkan dengan predikat mahasiwa Planologi, yang mana jika sudah berkata soal mahasiswa, tentunya sikapnya tidak akan terlalu cengeng, kekanak-kanakan dan manja.
Secara setting tempat dan suasana. “Amora Menolak Cinta” mengambil tempat UNB (Universitas Negeri Bandung) sebagai setting yang cukup sering. UNB mungkin tempat khayalan, tapi lewat penjelasan yang diutarakan penulisnya, agaknya saya tahu universitas mana yang dimaksud Rainy Amanda sebagai UNB, yang cukup terkenal di Bandung.
Dengan riset yang baik dan lengkap, saya ingin memuji Rainy Amanda. Suasana Bandung dalam “Amora Menolak Cinta” bukan sekadar tempelan. Dari menentukan nama jalan dan lokasi-lokasi setting-nya, semuanya terasa relevan dan bisa dibuktikan sendiri jika pembaca suatu hari berkunjung ke Bandung.
Untuk keseluruhan cerita, “Amora Menolak Cinta” terasa oke. Sebagai buku self-publishing, “Amora Menolak Cinta” adalah karya yang perlu diantisipasi. Peluangnya untuk masuk ke penerbit mayor jelas besar. Tulisan Rainy Amanda tidak terasa amatiran. Sudah digodok matang. Karakter-karakternya pun terasa kuat. Dan terakhir, saya pun masih terkagum-kagum dengan pemilihan topik dan tema tema konflik pada tiap bab-nya yang bisa mengaitkan cinta dan Biologi. Kok bisa kepikiran ya?
Bagi yang ingin membeli buku “Amora Menolak Cinta” karya Rainy Amanda, bukunya bisa dibeli di sini. Dan untuk buku-buku self-publsihed karya Rainy Amanda lainnya juga bisa dibeli dalam dua format paperback (via Bukalapak di link ini) dan e-book (via Kobo di link ini).
Rainy Amanda juga aktif menulis di Wattpad lho. Untuk fans setia AADC yang ingin bernostalgia, ongoing series Ada Apa Setelah Cinta bisa dibaca pada Wattpad rainyamanda dan Storial rainyamanda.
[…] Amora Menolak Cinta – Rainy Amanda di blog Jane Bookienary by Anastasia Cynthia (@frostbitiggy… […]