The Giver ‘Sang Pemberi’ – Lois Lowry

 

Judul                     : The Giver ‘Sang Pemberi’
Penulis                  : Lois Lowry
Penerjemah         : Ariyantri Eddy Tarman
Penerbit               : Gramedia Pustaka Utama
Terbit                    : Cetakan pertama, Agustus 2014
Tebal                     : 232 halaman
Rate                       : 4 /5

 

 

“Bagian terburuk menyimpan ingatan bukan rasa sakitnya tapi kesepiannya. Ingatan harus dibagi.

Lois Lowry, The Giver ‘Sang Pemberi’

 

Saat itu menjelang Desember, dan Jonas mulai merasa takut. Tapi, lagi-lagi ia kembali mempertimbangkan kata yang dipakainya. Mungkin bukan takut. Ia hanya khawatir. Upacara Dua Belas hanya tinggal hitungan hari, dan masa depan setiap anak pun sudah ditentukan. Bagaimana jika ia tidak mendapatkan Penugasan yang tepat?

Sudah sekian lama Jonas hidup dalam sebuah kenyataan yang sempurna. Semuanya nampak terkendali dan teratur. Tidak ada perang, kelaparan, ketakutan, dan kesakitan. Dalam Komunitas semua orang punya kehidupan yang “sama” dan kebohongan sama sekali tidak diizinkan.

Dalam Upacara Kedua Belas-nya, Jonas berharap, ia akan mendapatkan peran penting dalam Komunitas dan dipanggil dengan urutan yang seharusnya. Tapi kala itu, sesuatu tengah berlangsung ganjil, tidak ada nomor sembilan belas, ketika Fiona—sahabat baiknya—kembali melangkah ke tempat duduk. Jonas, si Nomor Sembilan Belas, baru saja terlupakan.

 

“Jonas tidak ditugaskan,” dia memberitahu hadirin, dan jantung Jonas mencelus..

Kemudian Tetua Kepala melanjutkan. “Jonas sudah terpilih.”

The Giver ‘Sang Pemberi’, hlm. 77

 

Awalnya hanya sebuah bisikan, hingga seluruh penghuni Komunitas mengelukan nama Jonas keras-keras. Semua orang telah menanti kehadiran seorang Penerima baru. Seorang yang terpilih untuk mengemban rasa sakit, dan menerima memori-memori lampau dari seorang Pemberi. Sejurus Jonas mungkin dirundung perasaan syukur dan bangga, tapi ia terus bertanya tentang hal yang akan ia lakukan selanjutnya?

 

Buku-buku distopia selalu punya ciri khas tersendiri dalam menarik perhatian pembaca, tapi ada beberapa poin penting yang membuat “The Giver” terasa unik dalam benak saya. Pertama, dari fisiknya yang tipis, covernya yang penuh kontemplasi, lalu ide ceritanya yang monoton. Bahkan tanpa sadar adaptasinya menjadi sebuah bingkisan film pun terlewat tanpa muncul di layar bioskop Indonesia. Tidak heran. “The Giver” lagi-lagi memang punya pembukaan yang sangat klasik. Tidak seperti sederet novel distopia masa kini yang menawarkan sejuta manuver laga dan kisah roman yang menarik. “The Giver” punya caranya sendiri untuk menjadi cantik.

Tersebut dalam ulasan di akhir buku tentang  seorang Lois Lowry yang perlu membolak-balik memorinya pada beberapa tahun silam, kala dirinya seorang gadis berumur sebelas tahun. Seorang gadis dalam lingkungan asing yang mencoba menarik premis dari setiap bayangan yang terbias dalam benaknya ketika tinggal di Jepang dulu. “The Giver” pun dibuka dengan sebuah ketenangan yang menakjubkan. Dengan sebuah latar Komunitas yang asing dan menghargai setiap persamaan. Memang tipikal sebuah novel distopia. Berikut dengan sederet peraturan yang selalu mengekang tiap penghuninya. Namun, dari sebuah kesamaan, Lowry mencoba memilah setiap kebaikan dan keburukan yang berdampak di baliknya. Bagaimana sebuah kesamaan membuat segalanya menjadi lebih aman. Tidak ada penyakit, kesakitan, kelaparan. Segalanya terasa bahagia. Hidup rukun bertetangga, tanpa takut seseorang akan menikam kita dari belakang. Terlepas dari sebuah kesamaan tersebut, Lowry menghadirkan seorang tokoh bernama Jonas. Yang mirip dengan dirinya kala menjadi seorang gadis berumur sebelas tahun dulu. Dengan banyak rasa keingintahuan dan ingin merasakan perbedaan.

Namun, di balik ide-ide cemerlang Lowry, adakalanya “The Giver” membuat pembaca masuk dalam zona jenuh. Dengan banyak penjelasan berliku di depan, lantas terkesan tergesa-gesa kala mengakhiri sebuah premis akhir. “The Giver” didominasi gaya penceritaan “to tell” dengan gaya bahasa yang luar biasa sederhana. Lois Lowry lebih sering memaparkan dan menceritakan apa saja yang dilakukan tokoh-tokohnya seperti dongeng. Tidak mempertontonkan pembacanya untuk menerka, sesungguhnya apa yang dilakukan Jonas. Mungkin ini sebuah pertimbangan untuk Lois Lowry, lantaran “The Giver” sendiri masuk ke dalam kategori children. Untuk masalah ide, saya pikir, “The Giver” terlalu menantang untuk anak-anak karena banyak hal yang sesungguhnya banyak menitikberatkan kepada pertanyaan-pertanyaan yang filosofis tentang sebuah dunia utopis yang serba-sama. Tapi, untuk gaya bahasa, di balik keruwetan idenya, “The Giver” masih terasa pas untuk dibaca oleh kalangan remaja.

Ada sedikit banyak pertimbangan sehingga saya membandingkan karya epik milik Lois Lowry ini dengan karya-karya distopia pendahulu lainnya, jauh sebelum pembaca banyak dimanjakan oleh banyak cerita-cerita keren berlabel distopia. Lois Lowry dan “The Giver” mengingatkan saya dengan cerita George Orwell, “1984”. Dengan sebuah alur yang klasik dan sahaja, tapi entah mengapa kedua cerita tersebut selalu punya daya tarik tersendiri untuk membuat saya duduk dan terus ingin tahu tentang apa yang selanjutnya dihadapi oleh tokoh utamanya. Dalam “The Giver”, menurut saya, hal itu ada pada diri Jonas. Karakter Jonas yang coba dibentuk Lowry adalah seorang jelmaan anak muda yang penuh rasa ingin tahu, dengan sebuah energi yang meletup-letup, dan keberanian yang tidak ditutup-tutupi. Tapi, bagian kesukaan saya pada cerita “The Giver” adalah saat Jonas tahu, kalau sesungguhnya banyak sekali warna yang ada di sekelilingnya. Di mana warna bisa menciptakan perbedaan. Dan perbedaan membuat kita bisa memilih.

 

“Tetapi, setelah sekarang aku bisa melihat warna, setidaknya kadang-kadang aku berpiki: bagaimana jika kita bisa menunjukkan benda-benda berwarna merah manyala, atau kuning manyala, dan daia bisa memilih? Ketimbang Kesamaan.”The Giver ‘Sang Pemberi’, hlm. 121

 

Tokoh Jonas adalah yang paling mudah dibayangkan. Wujudnya bersifat sebagai prisma, membiaskan tiap perkataan berat yang coba disampaikan oleh Sang Pemberi. Dan pengaplikasian memori Jonas pun tidak dihentikan sampai di sana. Saya suka dengan gaya Lowry yang banyak mengadaptasi pendeskripsian memori lampau yang coba ditrasnfer oleh Sang Pemberi dengan begitu sederhana, hingga membuat pembaca begitu jelas dan masuk ke dalam ceritanya.

Banyak simpulan dan kuotasi menarik yang bisa dipetik dalam “The Giver”. Kisah ini lamban tapi menghanyutkan. Pun diakhiri dengan tipikal sebuah cerita yang saya suka. Tanpa sebuah jawaban yang konkret, pembaca dibiarkan menerka tentang apa yang terjadi selanjutnya.

Setelah saya baca buku ini dan iseng menonton filmnya sebagai pembanding. Ada sedikit saran dari saya: “The Giver” lebih cocok dibaca ketimbang diterjemahkan ke dalam bentuk film. Mungkin di beberapa bagian, film yang mengandalkan visual bisa membeberkan sebuah informasi dengan lebih lekas dan menarik, tapi dalam filmnya, saya merasa “The Giver” kehilangan esensi klasiknya. Saya lebih memilih “The Giver” dalam bentuk buku, dengan plot yang mungkin terasa menjenuhkan di awal cerita. Tetapi, “The Giver” sebagai film adalah sebuah karya mengejar visual yang menarik dan adegan-adegan menegangkan sehingga banyak filosofi yang sesungguhnya menjadi tiang penyangga utama dari “The Giver” menjadi diputarbalikkan dan luntur.

Well, saya tidak sabar untuk menantikan karya terjemahan lainnya dari Lois Lowry. Empat dari lima bintang untuk “The Giver”. Sebuah karya yang epik dan menarik.

7 thoughts on “The Giver ‘Sang Pemberi’ – Lois Lowry

  1. Minggu lalu ketemu ini di toko buku dan pengen beli *tapi nggak jadi karena lagi irit*. Sama novel 1984 juga belum kesampaian hingga sekarang. T_T.
    Aku tahu judulnya dari salah satu postingan rekomendasi film adaptasi novel di sebuah situs. The Giver termasuk yang direkomendasikan waktu itu. Sinopsisnya menarik (dan genrenya distopia) karena itu aku jadi penasaran. Membaca ulasan ini membuat aku jadi semakin ingin menikmati bukunya :). Makasih, Ching, atas resensinya 🙂

    • Sama-sama, Ami 🙂 hahaha… kita sama banget deh, awalnya saya juga cuma tau ada di toko buku doang, antara penasaran tapi males beli, terus endingnya dibeli sih, cuma… saya ngabisin buku ini lamaaaa banget. Tapi, jujur, ini lebih keren bukunya ketimbang filmnya, banyak hal penting yang sesungguhnya merupakan esensi bukunya, malah ketutupan dengan adegan-adegan roman sama “perburuan” di filmnya.

  2. Kenal buku ini karna aku baca versi inggrisnya tahun 1993 dan baru tau kalau ada terjemahannya.
    Menurutku karna ini cerita anak-anak jadi distopia nya di buat sesimple namun masih ‘menganggu’ naluri. Justru karena simple, distopia ini lebih mendekati make in sense terjadi ke dunia kita daripada distopia lainnya tapi aku setuju kalau akhirnya memang sedikit tergesa-gesa

Leave a comment