Judul : Dari Kirara Untuk Seekor Gagak
Penulis : Erni Aladjai
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Cetakan Pertama, Agustus 2014
Tebal : 192 halaman
Rate : 3.5 /5
Pagi itu bukan hari yang baik bagi Mae. Jantungnya berdegup kencang saat tahu massa berkerumun di muka pintu kamar 2054. Kakek Yoshinaga telah tiada. Mae bukan cucunya, ia hanya seorang teman, kendati para teman yang lain menganggapnya kolot karena berteman dengan seorang kakek. Tapi Kakek Yoshinaga adalah satu-satu teman Mae di Sapporo dan kepergiannya membuat Mae kesepian.
Ken mungkin saja baru bertindak gila; pergi dari rumah tanpa pamit; meretas rekening milik Joben. Tapi, siapa peduli, Joben adalah dalang dari pembunuhan ibunya. Ia tak bisa pulang. Usahanya baru saja akan diuji. Mau tak mau ia berusaha irit dan mengambil tawaran termurah dengan menyewa kamar milik seorang tua yang baru saja meninggal.
Pertama kali Mae mengenal Ken, pemuda itu tak lebih dari bayangan hitam, ia selalu mengenakan pakaian gelap dengan jaket ber-hoodie, tak banyak bicara, hingga mengundang penasaran. Mae bermaskud mengenalkan diri sekaligus berterima kasih karena Ken telah menjaga Miku si Kucing yang salah masuk ke kamar 2054. Mae membawakan ramen dari kedai milik Nenek Osano—tempatnya bekerja. Tapi, Ken malah menanggapinya dengan kasar. Ia pikir, gadis tetangganya pasti sudah sinting, ia tak butuh teman, satu tujuan Ken, yaitu membalas kematian ibunya.
Mae tak menyerah. Di hari kedua, Ken luluh dan menyapa Mae terlebih dahulu. Bagi Mae, kedatangan Ken seperti burung gagak, selain gemar berpakaian serbahitam. Sikap Ken yang tempramental baru saja menceburkannya kepada dunia yang penuh rasa sakit, rasa kehilangan, sekaligus kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Didominasi warna putih kelabu, “Dari Kirara Untuk Seekor Gagak” mencuat dibarengi citra sastra yang kental pada covernya. Dengan ilustrasi yang realis, sekaligus judul yang cukup interaktif, saya pun percaya kalau novel ini akan sangat sastra. Tetapi, motivasi saya membeli ini adalah karena obyek diskon, sesungguhnya. Well, tidak mengecewakan sih, hanya saja, apabila saya membeli novel ini dalam harga yang belum didiskon, saya kira, sedikit tidak worth-it juga. Selain karena tebal novel yang tergolong tipis, tapi isinya tidak seberat ekspektasi saya lantaran melirik label novel sastra di cover belakangnya.
Kalau dikerucutkan dari segi ide, idenya cukup menarik. Walaupun sedikit melenceng tebakan, karena dengan ilustrasinya yang realis, saya pikir, novel ini akan sangat Indonesia, apalagi mendengar nama Erni Aladjai sebagai penulisnya, saya kenal nama itu dari sebuah novel bertajuk “Kei” yang temanya sangat Indonesia. Tapi, novel ini sesungguhnya bercerita tentang kehidupan Mae di Sapporo, Jepang. Tema luasnya cukup terasa pop sih. Ringan seperti novel “Tomodachi” karya Winna Efendi yang baru-baru ini saya baca juga. Bedanya, Erni Aladjai berani mengambil setapak besar dan mencampurkan bumbu misteri dan laga di dalam novel ini sehingga unggul satu poin dari segi ide.
Menyesuaikan dari segi ide juga. Di awal cerita gaya bahasa yang saya tangkap dari seorang Erni Aladjai adalah kosa kata yang sederhana, enak dibaca, informatif (mengingat latarnya yang di luar Indonesia) sehingga memberikan efek plot yang mengalir. Tapi lagi-lagi kalau mempertanyakan statusnya sebagai novel sastra, “Dari Kirara Untuk Seekor Gagak” tidak mencitrakan sebuah nuansa sastra dari gaya bahasanya. Alih-alih terkesan sangat populer. Memang di awal saya merasa terpana, melihat alur yang lamban, tipikal novel sastra dan novel Jepang yang memang punya karakter yang deskriptif dan rinci. Begitu pun penjelasan tiap latar yang digunakannya, sehingga ada kalanya saya tertipu, kalau yang menulis novel ini adalah seorang Indonesia. Akan tetapi, menjelang ke pertengahan buku, buku ini malah punya gaya bahasa yang sendeng ke novel sekelas Ilana Tan (seri empat musimnya). Yang lebih mengutamakan plot dan konflik cerita ketimbang gaya bahasanya.
Berkaitan dengan gaya bahasa, plot yang coba digarap dalam “Dari Kirara Untuk Seekor Gagak” adalah plot yang didominasi alur maju dengan penggunaan sudut pandang orang ketiga. Hanya saja sebagai variasi, Erni Aladjai memecah pokok-pokok plotnya menjadi tiga bagian, sesuai dengan tiga tokoh utamanya, Mae, Kei, dan Shibata—ayah Ken sehingga ketika disambut dengan ide yang ruwet, semuanya nampak rill, akan tetapi, saya sedikit menyayangkan tentang plot seorang Shibata yang masih penuh teka-teki. Di awal novel Erni terkesan menutupi setiap konflik tokoh-tokohnya dengan keramahan Kakek Yoshinaga, hingga beliau meninggal dan akhirnya konflik sesungguhnya pun terungkap. Di bagian tersebut, mungkin bagi sebagian orang akan mengundang rasa bosan, tapi bagi saya, saya pikir itu baik, karena saya suka kejutan, dan kehadiran Ken merupakan kejutan yang keren bagi “Dari Kirara Untuk Seekor Gagak”. Plot pada bagian konfliknya pun dipetakan dengan sangat baik, akan tetapi ada beberapa transisi scene yang terasa tidak mulus, bersifat repetitif, dan terburu-buru. Terutama dalam menjelaskan perpindahan latar tempat yang menyangkut dengan gedung apartemen, banyak adegan yang memangkas narasi dan membuat pembaca menjadi bingung karena sekejap mereka tidak sigap dengan alur cerita, latar tempatnya akan berganti begitu saja.
Melengkapi ide dan plotnya yang ringan, Erni Aladjai memang mampu menciptakan tokoh-tokoh yang saling mengisi. Contohnya interaksi dari kubu Mae, Kakek Yoshinaga dan Nenek Osano yang ditanggapi dengan keruwetan dunia Ken berikut dengan Shibata, ayahnya. Setiap tokohnya pun punya penokohan yang jelas, kendati diberi nama dengan nama Jepang. Nama Jepang yang mirip-mirip sering sekali membuat saya lupa akan tokoh yang baru saya kenal dan karakter yang diperkenalkan kembali oleh penulisnya, tetapi dalam “Dari Kirara Untuk Seekor Gagak” hal-hal seperti itu tidak saya temukan. Mulai dari Mae, Erni Aladjai menjelaskan dengan begitu detail bagaimana perawakan, umur, kegemaran, dan ciri-ciri fisik yang membuatnya berbeda antara satu dan yang lain. Begitu juga dengan Ken yang gemar memakai baju hitam sehingga dipanggil Gagak. Di samping dari kegemarannya dengan yang hitam-hitam, saya cukup terkejut dengan cara Erni Aladjai memperkenalkan karakter Ken yang tempramental. Novel yang ringan, dengan pernak-pernik Jepang kesannya sarat tradisi, amukan Ken dijelaskan dengan sangat rinci dan membuat konflik Ken dan Mae menjadi salah satu adegan paling serius yang tanggapi. Saya baca nyaris sambil terpana. Membandingan adegan di depan yang tenang dan di tengah yang seperti kapal pecah, meletup-letup dengan asap yang membubung ke angkasa.
Dari keseluruhan, menurut saya yang paling membekas dari “Dari Kirara Untuk Seekor Gagak” adalah hibrida yang coba ditawarkan oleh seorang Erni Aladjai yang berani menggabungkan sebuah keramah-tamahan para tua-tua Jepang dengan sebuah kekacauan ala mafia mirip film-film Hong Kong itu. Dengan tokoh-tokoh yang di luar ekspektasi, pendeskripsian yang masih bertumpu pada novel metropop. Erni Aladjai berhasil menelurkan sebuah kombinasi baru yang keren di benak saya.
Tiga setengah bintang untuk “Dari Kirara Untuk Seekor Gagak”; untuk amarah Ken yang membuat saya nyaris menghabiskan novel ini semasa perpindahan mata kuliah.
Jadi Kirara itu siapa? #gagalpaham -_-
Ternyata setting di Jepang ya. Saya juga ngiranya bakal di Indonesia 😀
Kirara itu panggilan sayang dari Ken (si Gagak) kepada Mae. Kirara sebenernya nama kucing di cerita anim Inuyasha sih 🙂
Wah, ini semacam karya eksperimentalnya Kak Erni, ya.
Bisa dibilang begitu, soalnya kelihatannya genrenya berbeda sekali dengan bukunya yang “Kei” 🙂