The Kite Runner – Khaled Hosseini

92438491
 
 
Judul                     : The Kite Runner
Penulis                  : Khaled Hosseini
Penerjemah         : Berliani M. Ngurahani
Penerbit               : Penerbit Qanita
Terbit                    : Cetakan pertama, Agustus 2010
Tebal                     : 496 halaman
Rate                       : 5/5
 
 

“Hanya ada satu macam dosa, hanya satu. Yaitu mencuri. Dosa-dosa yang lain adalah variasi dosa itu. Kalau kau membunuh seorang pria, kau mencuri kehidupannya. Kau mencuri seorang suami dari istrinya, merampok seorang ayah dari anak-anaknya. Kalau kau menipu, kau mencirui hak seseorang untuk mendapatkan kebenaran. Kalau kau berbuat curang, kau mencuri hak seseorang untuk mendapatkan keadilan. Mengerti?”The Kite Runner, hlm. 34-35

 

Amir mencoba mengingat musim dingin yang sama di tahun 1975. Kala ia masih berusia dua belas tahun. Menghabiskan waktu di bawah naungan rumah Baba yang luas dan berlarian di padang rumput bersama Hassan, si pengejar layangan berbibir sumbing.

Hassan yang merupakan anak Hazara, telah dianggap Amir sebagai sahabat dan saudaranya. Namun, di hari itu, kala ia memenangkan kompetisi layangan mengalahkan yang lainnya, Amira teramat menyesal membiarkan Hassan mengejar layangannya untuk keseribu kali.

Amir selalu memiliki pilihan. Ketika ia mendapati Hassan yang tersudut di sebuah gang, Amir bisa melangkah masuk untuk membela sahabatnya. Tapi, di benak kecilnya, Amir malah pergi melarikan diri.

Amir telah mengkhianati Hassan. Sejauh pandangannya melirik kepergian Hassan dan Ali, rasa bersalah yang tengah mengimpit dadanya menjadi tak tertahankan. Jarak dapat diberai samudera, namun Amir selalu kehabisan kata-kata untuk memungkir. Setiap kali ia mengenang sebuah ingatan yang indah. Memori itu selalu saja berimajikan Hassan. Berlari mengejar layangan, menyusuri lembah-lembah di Kabul.

Kala itu tahun 2001, di suatu musim panas, kawan Baba yang bernama Rahim Khan menelepon dari Pakistan. Meminta Amir mengunjunginya. Seperempat sudah Amir berusaha melupakan tempat kelahirannya. Kota Kabul yang tengah diinjaknya tengah mengalami penjajahan. Mengunjungi relung yang tengah menjadi batu dan puingan tembok, Rahim Khan, yang sekarat, pun menceritakan hal sesungguhnya terjadi di antara Baba dan Hassan yang teramat disayanginya.

 

 

Sekilas melibas, pembaca pasti menganggap sepele pokok permasalahan yang diangkat oleh Khaled Hosseini, berlatarkan sebuah kota yang kini telah menjadi puing. Kabul di mata Khaled Hosseini adalah sebuah cuplikan tempat indah, kampung di mana ia dilahirkan, hingga ia pun menulis kisah persahabatan dua anak yang berbeda derajat kependudukan.

Sebagai salah satu karya yang sanggup mengguncang khazanah sastra di era kontemporer, “The Kite Runner” tidak hanya berhasil menyentuh jutaan hati pembaca dengan kedua karakter utamanya, tetapi juga ikut memperkenalkan masyakarat luas tentang kultur yang unik dan masih amat kuat dianut oleh masyarakat Afghani. Perjalanan hidup Amir sebagai seorang Afghani diceritakan seperti sebuah mangkuk salad; pahit, manis, dan asam. Ia mulai ceritanya sebagai seorang anak berumur dua belas tahun yang gemar membaca dan terobsesi pada dongeng. Sebagai anak tunggal Baba—seorang yang berkecukupan dan berpengaruh di Kabul—Amir hidup dengan penuh kebahagiaan, bersama dengan anak dari pembantunya, Hassan.

Sayangnya, Amir malah memilih jalan yang tak pernah terpikir sebelumnya, yaitu jalan yang penuh pengkhianatan. Yang mana selama perjalanan hidupnya hingga ke negeri Paman Sam, Amir malah tetap dihantui perasaan bersalah. Dari imprin singkat tersebut, Khaled Hosseini mencoba memasukkan banyak pelajaran sehari-hari yang amat inspiratif dalam “The Kite Runner”.

Dengan dilatarbelakangi fenomena rill yang terjadi di dunia, semenjak dijajah Taliban, kaum Afghanistan yang tadinya hidup tentram di tanah Kabul pun mengungsi ke Amerika. Baba dan Amir memilih San Francisco sebagai rumah baru mereka, bertahan hidup dengan menjual barang-barang bekas di pasar loak.

Secara keseluruhan, ada sebuah kultur Islami yang kental pada novel “The Kite Runner”, namun kultur-kultur tersebut tak ayal menyelipkan moral dan pesan berharga yang tidak hanya ditujukan kepada pemeluk agama tersebut. Lewat keseharian Amir dan kaum Afghani lainnya di San Franciso, Khaled Hosseini berbicara tentang bagaimana cara kaumnya bertahan di tengah perbedaan kultur yang terjadi, antara sebelum dan pasca terjadinya insiden 11/9.

Sebagai debut Khaled Hosseini, “The Kite Runner” merupakan karya perdana yang luar biasa. Bukan semata-mata dari konflik novelnya yang berkenaan dengan isu politikal dunia, melainkan pengemasan ceritanya yang juga menarik. Cerita memoar perjalanan Amir tidak dieksekusi secara monoton, melainkan dieksplorasi melalui berbagai sisi. Semasa ia kecil, Amir menjelaskan sisi yang indah tentang Kabul dengan didominasi narasi spasial. Mulai dari ceruk terkecil di rumahnya, sampai panjang-lebar meja, dan besar ukuran ruangan rumah, Khaled Hosseini menjabarkannya secara lengkap; adat, permainan, hingga tradisi-tradisi lainnya di tanah Afghani pun ia perkenalkan kepada pembaca. Namun, di bagian inilah, cerita menjadi terasa mengulur, dan alih-alih, diselingi dengan dialog, Amir sebagai seseorang yang senang menghabiskan waktu bersama buku, lebih ingin bermonolog tentang kampung halamannya ketimbang berdialog panjang lebar dengan Hassan.

“The Kite Runner” bisa dibilang buku yang sendu, Khaled Hosseini menggunakan kata-katanya untuk menghanyutkan pembaca bersama sebuah diorama kehidupan Amir yang selalu dipenuhi penyesalan. Dengan terpolanya pemikiran tersebut, pembaca pun tak pernah berekspektasi tentang sebuah klimaks yang akan menghadang.

Khaled Hosseini sesungguhnya tak perlu terlalu sulit merangkai emosi untuk sebuah klimaks yang epik. Penuturan kisahnya bahkan tanpa bumbu metafora, namun sudah cukup menceritakan penyiksaan yang dibawa kaum Taliban ke tanah Afghani.

Menjelajahi perjalanan hidup Amir, “The Kite Runner” dibagi menjadi tiga bagian utama: a) bagian pertama, yang bercerita tentang masa kecil Amir dan Hassan di Kabul, b)  bagian kedua, yang bercerita tentang kehidupan Amir dan Baba di San Francisco, c) Amir kembali lagi bertemu dengan Rahim Khan di Pakistan pasca perang. Bagian pertama, seperti yang dituturkan secara gaya menulis, alurnya menjadi terkesan lambat dengan bagian introduksi yang panjang lebar mengenai tanah Kabul. Begitu juga dengan bagian dua, namun, di bagian dua, sebagai sebuah fase transisi, Amir lebih menuturkan pemikirannya secara liberal dan cepat, seperti saat pertemuannya dengan Jendral dan calon istrinya, Soraya. Hingga di bagian ketiga, saya rasa, dari antara ketiganya, bagian ketigalah yang menjadi fase ‘buka-kartu’ dari seluruh rangkaian memoar Amir. Yang mana Amir harus memberanikan diri dan berargumen untuk memenangkan hak yang seharusnya dimiliki oleh seorang Afghani untuk bisa menjadi warga negara Amerika yang resmi.

Sebuah cerita yang seru, tentunya tidak terlepas dari peranan tokoh yang hebat. Sebagai penulis Khaled Hosseini lebih sering menggunakan teknik penokohan yang didramatisir, walau ada kalanya sesekali ia menjelaskan tentang fisik seseorang, namun dengan kepiawaiannya bercerita tentang hal-hal spasial, pembaca pun tak ayal bisa merangkum deskripsi dan komparasi yang ia hadirkan lewat suasana dan tempat sebagai latar belakang penokohan dari para tokohnya. Seperti halnya kala ia menjelaskan rumah Baba yang megah, dipenuhi ukiran, juga meja yang luas untuk jamuan pesta besar-besaran. Berbeda saat narator menjelaskan gubuk Amir dan Ali yang begitu sederhana dan terletak di belakang rumah.

Dan untuk karakter, Amir sebagai sang narator bukanlah tokoh yang hebat, menurut saya. Amir diceritakan seperti manusia pada umumnya. Seorang pengecut, egois, dan oleh karena itu ia memilih untuk melarikan diri dari kenyataan. Tapi, lewat dirinya, Khaled Hosseini seperti ingin mengangsurkan sebuah cermin, yang mengetuk berkali-kali benak manusia, pernahkah sebagai manusia saya mengalami hal yang dialami Amir? Dan seperti kata pepatah, sehebat-hebatnya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Nah, mungkin seperti itulah jalan cerita akan menasihati Amir maupun pembacanya.

Namun, sebaliknya, tokoh yang menurut saya tokoh yang luar biasa adalah Hassan. Di balik ketidaksempurnaannya dan kemelaratannya, Hassan punya jiwa yang setia, pemaaf, suka menolong, dan selalu menganggap Amir sebagai tuannya yang paling baik. Hassan mungkin akan menjadi penyebab mengapa novel ini dapat membuat pembaca menitikkan air mata.

Terakhir, untuk setting ada tiga tempat yang dipilih Khaled Hosseini: Kabul di tahun 1975, Amerika (San Francisco), dan Kabul, Pakistan, dan sekitarnya di tahun 2001. Ketiga latar tersebut punya nuansa Timur Tengah yang kental. Kendati berada di San Francisco, tetapi sebagai seorang Afghani, Amir menceritakan kisahnya di tengah komunitas dengan suku yang sejenis. Dan untuk Kabul yang lama dan Kabul pasca-perang, keduanya diceritakan penulis dengan amat gamblang, sehingga pembaca bisa mengetahui sendiri, seberapa mengerikannya perang di Timur Tengah sana.

Sebagai bacaan yang nyaris terlewat, rasanya amat sedikit menyesal karena baru membaca “The Kite Runner” di masa sekarang. “The Kite Runner” bukan saja ingin berbicara soal persahabatan, di tengah kisah penuh penyesalan seorang Amir, Khaled Hosseini seolah ingin berpesan, jika manusia tentunya tidak ada yang sempurna, seperti seorang Baba yang memiliki rahasia yang tak pernah bisa diceritakannya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s