Judul : Inteligensi Embun Pagi (Supernova #6)
Penulis : Dee Lestari
Penerbit : Bentang Pustaka
Terbit : Cetakan pertama, Februari 2016
Tebal : 724 halaman
Rate : 4.5 / 5
“Kejahatan yang paling mengerikan tidak akan muncul dengan api da tanduk, tetapi jubah malaikat. Ia membius dengan kebajikan. Mereka yang terbius akan rela mempertaruhkan nyawa untuk membela apa yang mereka kira kebajikan.” –Intelegensi Embun Pagi, hlm. 459
Sementara Bodhi dan Etra mencoba memicu ingatan mereka mengenai Asko. Laki-laki itu tak ayal membuat Etra kehilangan kekuatannya. Sedangkan Zarah, yang baru saja pulang ke Desa Batu Luhur, akhirnya mendapatkan lungsuran rumah tua milik Firas, ayahnya. Zarah tahu, hatinya masih belum siap memasuki rumah itu. Sedemikian keras ia menutupinya, Zarah selalu ingin menemukan Firas lewat berkas-berkas di kamar tuanya.
Begitu juga dengan Alfa yang rela terbang puluhan jam dari New York ke Jakarta. Ditemani Kell sebagai teman seperjalanan. Laki-laki itu nyatanya bukan sekadar tabib yang menyembuhkan penyakit susah tidurnya. Melalui Kell, Alfa tahu hal yang begitu mengejutkan. Istilah-istilah aneh yang semakin jelas adanya. Dan melalui berbagai keterhubungan, akhirnya mereka mengerti jika misi hidup mereka bukan sebuah kehidupan yang penuh tanda tanya, melainkan sudah diatur sedari mula.
Pada “Inteligensi Embun Pagi”, terlihat pembawaan cerita Dee Lestari yang begitu kontras dibanding seri sebelumnya. Jika pada “Gelombang”, masih ada plot perkenalan tokoh Alfa yang berangkat dari Pulau Samosir menuju New York dan bersifat dramatis. Dalam “Inteligensi Embun Pagi”, Dee Lestari sama sekali tidak menyinggung babak perkenalan, alih-alih lebih berfokus pada hukum-hukum sains dan metafisika yang mejadi basis pertemuan keenam tokohnya.
Dan jika di seri sebelumnya, Dee sempat menyelipkan beberapa figuran, kini dalam memebntuk Gugus 64, yang menjadi pusat dari “Inteligensi Embun Pagi”, Dee membuka terang-terangan setiap karakter yang terlibat di ceritanya. Bukan semata-mata hanya figuran atau punakawan, namun mereka punya label tersendiri hingga akhirnya sebuah ‘perang’ dapat terjadi dan pertemuan keenam tokoh utamanya dapat terlaksana.
Mungkin dari tidak adanya babak perkenalan, saya sebagai pembaca yang turut serta membaca seri pertamanya dari beberapa tahun silam, kerap kali dilanda lupa. Yang mana karakternya terlampau banyak, penuturan plot karakternya yang terpisah-pisah, lantas setelah belasan tahun, Dee kembali menggabungkan semuanya tanpa ada perkenalan kedua. Agaknya, sebelum membaca “Inteligensi Embun Pagi”, pembaca dikehendaki membaca cerita-cerita sebelumnya, supaya tidak mengalami lubang plot yang tidak terlalu parah.
Lewat seri Supernova, saya selalu menyukai gaya bercerita Dee Lestari. Mulai dari yang mengandung adegan drama, pun aksi laga. Kalimatnya terkesan cekatan dan dialognya terasa sangat interaktif dalam membangun suasana. Dalam “Inteligensi Embun Pagi”, Dee menggunakan sudut pandang orang ketiga untuk mengisahkan serta mempertemukan orang-orang dari dua gugus yang berbeda. “Inteligensi Embun Pagi” terkesan lebih serius dari segi penggarapan bahasa yang mana, banyak melibatkan kata-kata kajian serta istilah-istilah ilmiah.
Walaupun terkesan lebih serius ketimbang buku-buku seri sebelumnya, Dee masih mempertahankan kelucuan karakternya dalam “Inteligensi Embun Pagi”. Seperti halnya interaksi antara tokoh Etra dan Mpret yang selalu saling sindir. Pun dengan istilah-istilah umpatan yang digunakan masih terasa sangat Indonesia dan sehari-hari. Lewat kalimat-kalimatnya dan porsi yang seimbang antara dialog dan narasi, “Inteligensi Embun Pagi” bukanlah novel yang perlu ditakutkan. Kendati banyak menyimpan lubang plot dan teka-teki, tapi sebagai pembaca yang memang bukan ditakdirkan membaca bacaan berat, masih dapat menikmati dan terhibur dengan gaya bercerita Dee Lestari pada “Inteligensi Embun Pagi”.
Mengenai alur, memang tidak ada alur bolak-balik pada “Inteligensi Embun Pagi”. Alih-alih, alur yang dirancang Dee Lestari pada seri terakhir Supernova ini terasa amat memerlukan sokongan dari seri sebelumnya. Dan jika tidak membacanya seri-seri sebelumnya secara maraton, pada “Inteligensi Embun Pagi”, pembaca dijamin akan bingung dan sedikit menerka-nerka dengan pasangan-pasangan karakter yang menjalani alur yang berbeda.
Ibarat kolam, “Inteligensi Embun Pagi” memang ditulis oleh Dee dengan wadah yang terpisah. Yang mana pada awalnya Bodhi ditempatkan bersama dengan Etra, Alfa dengan Kell. Lantas, Gio ditempatkan dengan Dimas dan Reuben. Semuanya terasa acak dan tidak memiliki ujung cerita. Namun, fase yang paling menarik dalam membaca “Inteligensi Embun Pagi”, menurut saya, ada pada peretasan masing-masing kubu, yang perlahan-lahan akan terlihat saling berkelindan dan membentuk sebuah plot besar secara utuh.
Pembaca memang merasa ditipu berkali-kali. Tapi, di saat yang bersamaan pembaca jadi dibikin awas dan ikut menebak misteri. Mirip novel investigasi, bedanya istilah-istilah yang digunakan penulis di sini bukan mengacu pada tindak kriminal, tapi mengenai kekuatan supernatural dan keberadaan dimensi lain.
Lewat keberadaan Gugus 64, “Inteligensi Embun Pagi” dibentuk dengan banyak karakter. Bukan hanya karakter-karakter yang dominan dan dijelaskan secara utuh pada buku-buku seri sebelumnya. Jika dalam Petir, Etra adalah tokoh utama, pada “Inteligensi Embun Pagi”, Toni ‘Mpret’ pun dijadikan sebagai salah satu juru kunci untuk melengkapi gugus mereka. Begitu juga dengan Gio, pada novel sebelumnya, saya sempat melompati banyak bagian Gio lantaran latarnya di Lembah Suci Urubamba terasa asing dan terlepas dari tokoh-tokoh lainnya.
Pada “Inteligensi Embun Pagi”, Dee Lestari tidak membeberkan introduksi panjang lebar mengenai masing-masing karakternya, mengingat banyak pembaca yang mungkin lupa, alih-alih, pembaca harus mengobati ketinggalan mereka sendiri. Pembaca diharapkan langsung tanggap mengenali satu per satu karakter begitu juga dengan kehebatan dan sifat buruk mereka.
Dengan sedemikian banyak karakter yang terlibat dalam “Inteligensi Embun Pagi”, penokohan Dee Lestari tetap kuat mempertahankan ciri khas dan karakteristik masing-masing tokohnya. Seperti halnya tokoh Mpret dan umpatan andalannya, “kampret”. Etra dengan daster andalannya. Zarah dan kaus NGO-nya. Hal-hal sepele semacam itu tetap menjadi keseruan sendiri serta membangun imajinasi yang kuat di benak pembaca.
Setting yang diangkat Dee Lestari dalam “Inteligensi Embun Pagi” semakin kompleks, bukan saja melibatkan perpindahan negara, namun menyinggung dimensi lain, yaitu sebuah tempat bernama Asko. Sempat bingung sebelumnya, apa itu Asko? Saya pun berpikiran demikian, namun dengan mengenali Asko, pembaca semakin tahu apa yang tengah melanda para karakter di seri Supernova hingga mereka berusaha mati-matian mempertahankan tempat itu. Setting spasial yang bertempat di Indonesia pun, khususnya Bandung, terasa unik ketika bersinggungan dengan hal astral semacam Asko. Dee Lestari tidak menjadikan latar tempatnya sebagai benda mati, namun mencampurnya dengan sedikit bumbu humor sehingga menciptakan masalah culture shock baru pada karakter-karakter warga negara asingnya.
Secara keseluruhan, seri Supernova mampu menggabungkan sains dan roman seperti yang direncanakan Dimas dan Reuben. Supernova dengan hebatnya dapat menceritakan bagaimana sains dapat hancur dan diputarbalikkan karena cinta. Dan cinta pun bisa terjalin karena unsur sains yang dapat dijelaskan secara logika.
“Inteligensi Embun Pagi” terasa menegangkan secara bertubi-tubi. Namun, pandangan personal saya, “Inteligensi Embun Pagi” tidak terasa semenarik “Gelombang” atau “Petir”. Sebagai pembaca, cangkir kopi saya agaknya lebih pas saat menikmati plot cerita yang menanjak diam-diam, dari sebuah latar cerita yang sangat sederhana, namun para tokohnya bisa menciptakan hal yang hebat pada akhir ceritanya. Seperti semacam kejutan. Sedangkan, “Inteligensi Embun Pagi” adalah cerita berisi siasat perang sehingga semuanya terasa terus menanjak.
Saya sudah menduga jika ingin membaca novel IEP ini mesti mengingat buku-buku terdahulu. Saya malah belum menaruh minat kepada novel ini lantaran saya belum membaca yang Gelombang. Kalau dipaksakan membaca IEP, beuh efeknya mungkin saya akan mencap absurd.
Iya, karena di buku ini, penulisnya langsung tancap gas. Membuka tabir-tabir rahasia di novel sebelumnya. Alangkah baiknya mengingat-ingat dulu, biar langsung nyambung 🙂
waah kayaknya seru nih bukunya. aku tertarik mau baca buku ini. tapi ternyata ini buku seri ya? baru tau hehehe. berapa seri ya ini?
Seru banget 🙂 ini seri penutup dari lima seri sebelumnya.
Assalammua’alaikum, Wr. Wb.
Permisi, salam kenal, nama saya Eka Nur’Aini
mahasiswa semester 7 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang angkatan tahun 2014.
semester ini saya mengambil mata kuliah skripsi dimana bahan kajian saya adalah resepsi pembaca terhadap novel Intelegensi Embun Pagi karya Dewi Lestari.
saya memohon ijin menggunakan ulasan anda untuk dijadikan data dalam skripsi saya, selain itu saya juga meminta tolong kepada saudara semoga berkenan mengisi data berikut sebagai bahan tambahan untuk skripsi saya.
Nama (memohon semoga dapat diisi dengan nama asli, walaupun sekedar nama panggilannya):
usia:
jenis kelamin
pendidikan terakhir:
pekerjaan:
pengalaman buku bacaan (novel atau buku sastra):
asal daerah:
pesan ini saya buat dengan sejujurnya dan semoga niat baik ini juga dapat ditanggapi dengan baik. saya mohon maaf jika mengganggu dan ada yang salah, serta berterima kasih atas perhatian saudara.
wassalammu’alaikum Wr. Wb.
Halo, kak
Permisi, salam kenal, nama saya Eka Nur’Aini
mahasiswa semester 8 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang angkatan tahun 2014.
semester ini saya mengambil mata kuliah skripsi dimana bahan kajian saya adalah resepsi pembaca terhadap novel Intelegensi Embun Pagi karya Dewi Lestari.
saya memohon ijin menggunakan ulasan anda untuk dijadikan data dalam skripsi saya, selain itu saya juga meminta tolong kepada saudara semoga berkenan mengisi data berikut sebagai bahan tambahan untuk skripsi saya.
Nama (memohon semoga dapat diisi dengan nama asli, walaupun sekedar nama panggilannya):
usia:
jenis kelamin
pendidikan terakhir:
pekerjaan:
pengalaman buku bacaan (novel atau buku sastra):
asal daerah:
pesan ini saya buat dengan sejujurnya dan semoga niat baik ini juga dapat ditanggapi dengan baik. saya mohon maaf jika mengganggu dan ada yang salah, serta berterima kasih atas perhatiannya
Hallo, Kak. Salam kenal, Saya eka Nur’aini
Saya sedang melakukan penelitian tentang reapon pembaca terhadap novel IEP karya Dee dan saya berniat menjadikan review kaka sebagai salah satu bahan penelitian. Jika tidak keberatan bolehkah saya meminta data kakak?
Halo, kak
Permisi, salam kenal, nama saya Eka Nur’Aini
mahasiswa semester 8 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang angkatan tahun 2014.
semester ini saya mengambil mata kuliah skripsi dimana bahan kajian saya adalah resepsi pembaca terhadap novel Intelegensi Embun Pagi karya Dewi Lestari.
saya memohon ijin menggunakan ulasan anda untuk dijadikan data dalam skripsi saya, selain itu saya juga meminta tolong kepada saudara semoga berkenan mengisi data berikut sebagai bahan tambahan untuk skripsi saya.
Nama (memohon semoga dapat diisi dengan nama asli, walaupun sekedar nama panggilannya):
usia:
jenis kelamin
pendidikan terakhir:
pekerjaan:
pengalaman buku bacaan (novel atau buku sastra):
asal daerah:
pesan ini saya buat dengan sejujurnya dan semoga niat baik ini juga dapat ditanggapi dengan baik. saya mohon maaf jika mengganggu dan ada yang salah, serta berterima kasih atas perhatiannya