Judul : Leaving Time ‘Jejak Waktu’
Penulis : Jodi Picoult
Penerjemah : Maria Lubis
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Cetakan pertama, April 2016
Tebal : 512 halaman
Rate : 4.5 / 5
“Aku bertanya-tanya, jika kita semakin dewasa, apakah kita berhenti terlalu merindukan orang? Mungkin tumbuh dewasa hanyalah berfokus pada semua yang kita miliki, bykan yang tidak kita miliki.” –Leaving Time ‘Jejak Waktu’, hlm. 143
Sudah sepuluh tahun lamanya semenjak Jenna mengingat kerlingan manis yang mewarnai ritual bangun paginya; terbangun di dalam buaian ibu. Sayangnya, semua itu sekadar kabut yang dapat ia ingat seorang diri. Alice Metcalf mungkin sudah terlupakan, dibuang dari loker data pencarian orang hilang, namun Jenna, putrinya yang kini berusia 13 tahun tak pernah puas mencari bukti yang terpendam di balik berita hilangnya Alice. Gadis itu percaya kalau ibunya masih hidup.
Jenna rindu akan kehidupan indahnya sepuluh tahun lalu. Saat keluarga lengkap masih menemani langkah-langkah kecilnya di suaka gajah. Bukannya ditinggalkan begitu saja bersama sang ayah yang kini mendekam di kamar apek rumah sakit jiwa. Dibesarkan oleh sang nenek dengan tegas, Jenna tumbuh menjadi gadis yang cerdik.
Dengan bantuan jurnal lama sang ibu, Jenna mencoba mengungkap jati diri Alice Metcalf sebagai seorang peneliti gajah di Afrika. Pertemuannya dengan Thomas Metcalf, lantas kepindahannya ke Amerika sebagai istri dari seorang pemilik suaka gajah di New England. Hingga ditemukan tak sadarkan diri pada 16 Juli 2004 dan raib begitu saja. Jenna yakin, pasti ada alasan yang tersembunyi yang membuat Alice memilih pergi dan menghilang.
Persoalan ibu dan anak memang tak pernah lekang dari karya-karya Jodi Picoult, begitu juga dengan “Leaving Time”, karya terbarunya yang baru saja diterbitkan tahun lalu pun menyinggung hal yang serupa. Tentang Jenna Metcalf yang tengah mencari ibunya yang hilang. Jika sebelumnya Picoult selalu memberikan sentuhan drama keluarga yang kental, lengkap dengan adegan-adegan yang menguras air mata, rupanya “Leaving Time” tak berhenti hingga di sana. Dengan mengombinasikan sedikit bumbu misteri dan kriminal, Alice yang datang dari masa lalu menceritakan semuanya secara acak, mulai dari perjalanan kariernya di Afrika, sebagai seorang peneliti gajah.
Prinsip bercerita yang dihantarkan Picoult terasa unik, pada “Leaving Time” banyak sekali fakta-fakta yang disilap. Diputar-balikkan di mata pembaca, sehingga tanpa sadar pembaca pun ikut tertipu. Pembaca seperti diminta untuk mengikuti setapak yang dibuat oleh Jenna, sebagai seorang anak berumur 13 tahun, tanpa sokongan dana yang cukup dan informasi yang terpenggal-penggal.
Di awal cerita, pembaca hanya perlu satu premis: Jenna mencari ibunya yang hilang. Namun, seiring cerita yang bergerak, rupanya Picoult menggali lebih dalam latar belakang Alice lewat sebuah suaka gajah yang nyaris bangkrut. Bagaimana di belakangnya berkelebat banyak konflik, dari segi ekonomi dan obsesi para peneliti di dalamnya yang berusaha mempertahankan suaka tersebut. Hingga akhirnya, misteri itu pun datang. Saat salah seorang di antaranya memulai ‘peperangan’ batin dengan dirinya dan mengundang sebuah kriminalitas berbahaya di dalamnya.
Sepintas, sebagai seorang pembaca yang telah menghadapi konflik serupa di dalam sebuah novel, saya sempat mengira, “Leaving Time” akan dibawa dengan nuansa yang ringan seperti yang dihadirkan Maria Semple pada “Where’d You Go Bernadette” (2013). Sebaliknya, “Leaving Time” malah bergeser dari nuansa drama menjadi kisah yang cukup mencekam dan gelap.
Beberapa komentar teman yang kerap membaca karya-karya Picoult berkata, “Leaving Time” merupakan salah satu karya terbaiknya. Tetapi, menurut saya yang baru pertama kalinya membaca karya Picoult, “Leaving Time” bukanlah drama keluarga pada umumnya. “Leaving Time” banyak menorehkan lika-liku. Seperti halnya berjalan di sebuah labirin; penuh jebakan. Terlebih isu yang diangkat Picoult juga terasa unik dan menarik.
Menanggapi isu kekeluargaan yang kerap diangkatnya, Picoult menghadirkan ceritanya dengan gaya menulis yang hangat, penuh kehati-hatian, namun terasa anggun dan lembut. Layaknya buaian sang ibu. Narasi-narasinya penuh dengan perenungan kendati difungsikan sebagai deskripsi yang menjelaskan gerak-gerik yang terjadi di sekitar sang tokoh utama. Sudut pandangnya pun tidak diangkat melalui satu orang saja. Mulai dari Jenna, yang membahas tentang perihal kehilangannya. Cerita bergulir ke arah Alice, yang bercerita melalui lembar-lembar di masa lalu, kala ia masih bertugas sebagai peneliti gajah di Afrika. Lalu, cerita tidak saja berhenti sampai di narasi ibu dan anak saja. Ada dua tokoh pendukung lain yang tak kalah penting: Virgil si Detektif Swasta dan Serenity Jones si Cenayang.
Jodi Picoult juga memiliki siasat hebat untuk mengaitkan gaya menulisnya dengan karakter utama, yaitu dengan merealisasikannya melalui berbagai analogi. Terutama melalui tindak-tanduk seekor gajah. Gajah sebagai binatang yang lembut dan penuh kasih sayang dijelaskan begitu seksama oleh Picoult, sehingga secara tidak langsung dapat menggambarkan kasih sayang para orangtua kepada anak-anaknya, seperti Alice menyayangi Jenna.
Sebagai cerita yang datang dari beberapa sudut pandang, “Leaving Time” ditunjang untuk memiliki alur yang terpisah-pisah. Seperti halnya napak tilas dari Alice yang isinya lebih banyak menceritakan tentang penelitiannya di masa lalu, perkembangan kariernya, hingga ia bertemu dengan Thomas Metcalf dan jatuh cinta kepadanya. Sedangkan Jenna, menceritakan dari sudut pandangnya sebagai seorang gadis 13 tahun yang cerdas dan memiliki ingatan yang kuat. Alur dari sudut pandang Jenna lebih banyak membimbing pembaca melalui alur maju.
Dua sudut pandang lainnya, Virgil dan Serenity. Keduanya rupanya bercerita melalui masa lalu masing-masing yang berkelindanan dengan satu kejadian, yaitu: mencari orang hilang. Lantas, bisa dibayangkan bagaimana cerita ini akan berjalan? Sedari awal, bisa dibilang alurnya amat menipu, ibarat segitiga yang diletakkan terbalik, semakin dalam pembaca mengikuti kisah pencerian Alice Metcalf, maka pembaca akan semakin tercengang saat mengetahui fakta yang dapat digali melalui sudut pandang yang berbeda.
Beranjak ke bagian penokohan, agaknya buku setebal 500 halaman memang merupakan medium yang baik bagi Picoult untuk menjelaskan keempat tokoh andalannya secara mendetail. Melalui cerita Alice, pembaca bisa tahu betapa gemilangnya seorang gadis di tengah kegemarannya pada bintang gajah. Riset yang dilakukan Picoult bukan riset sekadarnya, yang mengandalkan nilai estetika semata, alih-alih, digali dari berbagai sumber yang dirangkumnya dalam bibliografi singkat pada halaman catatan penulis. Gajah yang diteliti Alice bukanlah obyek sampingan. Gajah ibarat sebuah panutan dalam Picoult dalam menulis interaksi antara Alice dan Jenna.
Picoult pun menuliskan bagian Serenity dan Virgil dengan latar belakang yang lengkap. Serenity masuk dengan rujukan Jenna, yang mengira bahwa seorang cenayang bakal bersedia membantu pencarian ibunya. Serenity dipilih bukan berdasarkan data asal yang ditemukan Jenna di jejaring sosial, tapi Serenity melalui kacamatanya sendiri menceritakan suka duka saat mencari seorang cenayang. Bagaimana saat ia kecil orang-orang menganggapnya aneh, sampai ia beranjak dipercaya dan menjadi terkenal di televisi. Sedangkan Virgil merupakan detektif swasta yang dulu pernah terlibat pada kasus kehilangan Alice. Dan Picoult pun menceritakan kisahnya selepas penutupan kasus tersebut. Bagaimana rasa bersalah yang menjerat Virgil dan bagaimana dirinya sampai terjerembab pada gaya hidup yang penuh dengan alkohol.
Melalui penjelasan yang mendetail mengenai empat tokoh yang ikut berbicara pada kasus hilangnya Alice Metcalf, Jodi Picoult sesungguhnya bermaksud mendistraksi pembaca. Dari misteri yang ingin diungkapnya, banyak jalan putar yang harus diambil, disimak, dan ditelaah lebih lanjut.
“Leaving Time” mungkin sempat diperkirakan para pembaca sebagai karya Picoult pada umumnya. Namun, dengan sentuhan misteri, “Leaving Time” merupakan karya baru yang unik dan mendidik. Bukan hanya melalui kisah Alice Metcalf, namun melalui analogi-analogi lembut yang kerap dilontarkannya.