Maryam – Okky Madasari

 

Judul                     : Maryam
Penulis                  : Okky Madasari
Penerbit                 : Gramedia Pustaka Utama
Terbit                     : Cetakan pertama, Februari 2012
Tebal                      : 280 halaman
Rate                       : 4 / 5

  

“Kalau memang kita seagama, kenapa pula aku harus meninggalkan semuanya?”—Maryam, hlm. 40

 

Maryam pulang tanpa harap. Ia hanya rindu. Hatinya kecewa saat menapakkan kaki di kampung halamannya. Lombok sudah banyak berubah. Lima tahun menghuni Jakarta, Gerupuk tak ingat lagi padanya. Nama Khairuddin pun hanya satu dua orang tetangga dekat yang tahu.

Lima tahun lalu Maryam nekat untuk kawin lari. Menikah dengan pemuda bernama Alam, yang bukan Ahmadi. Maryam selalu berpikir, kendati status keagamaan mereka berbeda, tapi agama mereka tetaplah sama. Sama-sama mengaji, sama-sama berdoa, tapi mengapa semua orang menatapnya sebagai seseorang yang kerasukan? Agama yang sesat, yang perlu dijauhi.

Keadaan di kampung halamannya tak jauh berbeda, para tetangga murka saat tahu keluarga Maryam yang merupakan Ahmadi, mereka mengusir ibu, ayah, serta adik perempuannya dari rumah warisan kakek. Maryam bercucuran air mata menemui mereka di Gegerung, mengungsi kendati tanah dan rumah itu adalah hasil keringat ayah mereka sendiri.

Maryam sudah enggan kembali ke Jakarta. Kupingnya panas mendengar gunjang-ganjing ibu mertuanya yang sebentar-sebentar menyinggung agama lantaran menginginkan keturunan. Ibu Alam minta Maryam didoakan, barangkali ia sesat. Maryam tak bisa tinggal diam. Hatinya kecewa. Apa semua orang di dunia akan menilainya begitu lantaran ia seorang Ahmadi?

  

“Maryam” banyak mengingatkan saya kepada “Amba” karya Laksmi Pamuntjak dan “Pulang” milik Leila S. Chudori, kendati tak mengambil latar di era penjajahan dulu. “Maryam” lebih menjurus kepada perang agama. Awalnya cukup membingungkan. Tanpa tahu menahu soal Ahmadiyyah, saya sempat berpikir kalau alurnya akan bercerita soal kasih tak sampai dari seorang perempuan. Memang, dari persepektif yang sederhana, “Maryam” adalah sebuah cerita dengan nuansa feminis yang kental. Tapi di balik tokoh Maryam yang dibuat Okky Madasari, ada peperangan besar yang berkumpar soal agama.

Ahmadiyyah, agama yang dianut “Maryam”, adalah sebuah aliran muslim yang nyata, yang banyak mengumbar konflik dan sempat menjadi kontroversial karena dianggap sesat. Pahamnya memang sama-sama muslim, tapi para Ahmadi tidak menganggap Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir, alih-alih,  Mirza Ghulam Ahmad.

Dalam alur ceritanya, “Maryam” diceritakan dengan gaya memoar. Idenya hebat. Mengupas sisi lain sebuah keagamaan yang dianggap tabu oleh kebanyakan masyarakat. Pengambilan latarnya juga luar biasa. Saya tidak menyangka kalau ada buku yang akan menjelaskan Lombok dengan sangat menarik, jarang ada buku yang mengambil latar tersebut, apalagi yang membuat menjadi latar utama. Namun, yang saya kurang sukai adalah penjabaran Ahamadiyyah yang sangat minim.

Dari keseluruhan, rangkaian perjalanan “Maryam” kentara punya riset yang kuat, dari sisi sosial dan kebudayaan, Okky Madasari mencoba menyelipkan kultur-kultur unik seputar para Ahmadi. Tapi, untuk konflik dan latar belakang Ahmadiyyah sendiri, hal itu justru tidak dipertontonkannya sebagai pembukaan cerita. Pembaca menjadi serta-merta langsung diperkenalkan kepada tokoh bernama Maryam, yang malu ingin pulang ke kampung halamannya. Lantas, baru setelah itu Ahmadiyyah diperkenalkan dengan banyak gestur, pemikiran, dan narasi orang ketiga. Sedikit kaget. Namun, dari segi penyampaian dan gaya bercerita, Okky Madasari punya gaya bercerita yang luwes dan mudah dimengerti. Kendati ini pertama kalinya saya membaca karya beliau, tapi tidak seperti Laksmi Pamuntjak dengan “Amba” menyugguhkan novel tebal, bergaya bahasa yang mendayu-dayu dan melankolis, Okky Madasari punya permainan dialog yang cerkas dan semi-populer seperti karya-karya Fira Basuki. Hanya mungkin saja porsi dialog dan narasinya mengingatkan saya dengan buku-buku karya Eka Kurniawan yang banyak didominasi oleh kalimat-kalimat narasi yang panjang lebar.

Di awal cerita, “Maryam” ingin bermain dengan alur, Maryam yang mendarat di Lombok diceritakan punya beban berat di pundaknya. Lantas, saat ia melandaskan kaki, cerita-ceritanya pun melebur seperti cerita kasmaran remaja. Memoar tentang Maryam diceritakan agak bertele-tele. Ia cantik, pintar, dan punya kulit yang sawo matang. Maryam sangat mirip dengan Amba (“Amba”, Laksmi Pamuntjak). Hanya saja citra Maryam terasa lebih ringkas dibangun. Tidak dengan banyak metafora dan pembelajaraan secara politik dan budaya seperti Amba yang melibatkan pewayangan dan sosialisasi tempat tinggalnya.

Menanjak ke bagian pertengahan, alur cerita Maryam, yang saya simak, banyak direpetisi, ia menangis, mengunjungi kerabat, lantas mencari ketenangan bersama keluarganya. Hingga Maryam bertemu dengan Umar. Penggunaan sudut pandang orang ketiga yang digunakan Okky Madasari, memudahkan pembaca untuk mengenal banyak karakter, khususnya Umar dan Ibu Ali. Janda yang ditinggal meninggal suaminya, lalu Umar diperkenalkan dengan sangat bersahaja.

 

“Cinta lahir dari kenyamanan dan kebahagaiaan. Bukan sebaliknya. Kalau dengan Umar hidup bisa nyaman, tenang, dan bahagia, tidak ada alasan untuk tidak mencintainya.”Maryam, hlm. 160

 

Ada kesan pesimis dari pertemuan Umar dan Maryam. Kalau pada mulanya Maryam telah menaruh perasaan kepada Gamal dan Alam, dengan gaya yang mendayu-dayu mirip melodrama modern. Umar punya pemikiran yang sangat biasa. Pria biasa. Pria mapan yang disukai calon mertua. Tapi, gayanya kikuk. Pun dengan Maryam yang baru saja bercerai. Tapi, lewat kisah cintanya dengan Umar, Maryam menjadi punya nuansa yang sangat tradisional dan sangat Indonesia. Jauh dari budaya glamor dan kasmaran remaja; sangat konvensional dan menarik untuk disimak.

Secara keseluruhan ceritanya, saya sangat memuji pemilihan latar yang dipakai Okky Madasari. Konflik yang dipakainya pun tidak sekadar karangan dan angan-angan seorang penulis. Hingga di belakang sampul pun, sebagai penutup kisah “Maryam”, Okky Madasari menjelma menjadi salah satu kepala yang ingin beropini.

Kalau ingin disetarakan dengan “Amba”, “Maryam” terasa lebih menarik di benak saya, terutama dari gaya berceritanya yang tidak bertele-tele dan enak disimak. Tapi, jika dibanding dengan “Pulang”, “Maryam” adalah novel sosial yang ringan. Dengan lembaran yang tidak tebal. Kata-kata yang semi-populer. Dan latar belakang konflik yang dijelaskan minim.

Tiga setengah bintang untuk alur cerita “Maryam”, dan separuh lagi untuk ilustrasi sampulnya yang memikat mata.

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s