Judul : Pangeran Kertas
Penulis : Syahmedi Dean
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : 2014
Tebal : 224 halaman
Rate : 4 / 5
“Oh, Tuhan
Aku Jatuh Cinta
Aku tahu
Engkau pangeranku yang belum ada.” – Penggalan dari Puisi Pangeran Kertas
Buku ini dimulai dari sebuah keluarga kecil yang dimiliki oleh Jonatan Razi—seorang actor sinetron ternama—yang kandas di meja hijau. Anak gadis satu-satunya, Andrania, pun harus menanggung duka kesendirian serta kepedihan yang diakibatkan oleh kejadian itu. Hanya lembar-lembar puisi yang ia torehkan di buku merah itu lah yang mampu menyelamatkannya. Lambat laun, seiring berjalannya waktu, syair-syari gadis itu pun perlahan-lahan bermetamorfosis menjadi sosok imajiner berupa Pangeran Kertas, yang selalu didambakan Nania hadir di kehidupannya.
Pangeran kertas akan melipur laranya. Pangeran kertas akan datang padanya. Pengeran kertas akan membantunya melalui masa-masa berat itu.
Tapi Pangeran Kertas adalah sosok dari puisi-puisinya? Apakah ia nyata?
Maka takdir mempertemukan Nania dengan Alvin, melalui comblang dari dua sahabat terbaiknya Lilu dan Deta, gadis itu mencoba menemukan sosok Pangeran Kertas dari nada-nada indah yang Alvin berikan pada puisi-puisinya. Namun, tidak, Alvin bukanlah pangeran kertasnya. Alvin bukanlah sosok nyata dari puisi-puisi serta mimpinya.
Lalu di manakah ia? Pangeran Kertas itu?
Deta menanti pun terus mencari. Hingga seseorang, yang tak pernah Nania duga memiliki kunci dari kotak hatinya, dan membangkitkan gejolak rasa bahagia atas penantian yang berakhir dengan mantra sederhana.
‘Kau menyiksaku dengan rayuan malam. Kau tarik aku terbang ke bulan. Bisakah kau kirimkan aku kembali ke bumi?’
Nania terpesona dengan mantra itu. Ia lantas mengenali si empunya kata-kata itu bernama Raka, salah satu dari tim penulis naskah, di proyek tempat ayahnya berperan. Nania yakin inilah kesempatan pertama dan terakhir baginya untuk mengenal Pangeran Kertas-nya. Maka, segeralah ia sampaikan undangan untuk hadir pada Pekan Sastra Remaja yang diadakan oleh kampusnya. Berharap Raka hadir dan menyaksikan puisi tentang Pangeran Kertas ia kumandangkan di tengah khalayak ramai.
Namun sayang, jawaban ketus yang diterima Nania saat undangan baik itu disampaikan. Ia tak tahu Pangeran Kertas-nya ternyata orang yang begitu dingin. Maka Nania pun naik panggung dengan perasaan getir karena tak bisa menemukan Pangeran Kertas-nya di antara orang-orang. Hingga saat puisinya berakhir, dan Nania secaara spontan memutuskan untuk berlari untuk pulang; mencoba untuk mengurung diri lagi dalam kesedihan yang mendalam. Tangan itu meraihnya, menahan gerakannya, dan saat Nania berbalik untuk menemukan siapakah gerangan yang berani menyentuhnya itu, ia menemukan wajah Raka—tersenyum dan menawarinya jok belakang motornya untuk ditumpangi.
Hati Nania berbunga. Ini ketiga kalinya mereka bertemu, tapi Nania tahu jiwa mereka telah terpaut sejak dahulu kala oleh semesta. Hari itu pun menjadi hari yang paling tak terlupakan oleh kedua insan yang jiwanya bersatu dalam harmoni puisi-puisi dalam setiap kata-kata mereka. Taman Ayodhia menjadi saksi bisu kata-kata cinta tak perlu terucap, tapi terpancar di mata mereka masing-masing; dengan bulan di mangkuk soto, percakapan tertukar dengan leluasa.
Hanya saja, ternyata malam yang dimulai dengan indah itu berakhir dengan tragis. Dua pangeran itu bertemu—Alvin dan Raka—secara tak sengaja di depan rumah Nania saat Raka mengantar gadis itu pulang. Sapaan hangat Alvin, pancaran kasih pria itu pada Nania, membuat semua rasa bahagia yang tertukar di Taman Ayodhia kandas.
Apa Raka di permainkan? Apa Pangeran Kertas bagi Nania itu tidak hanya dirinya seorang?
Maka, detik itu pun Raka berbalik pergi. Meninggalkan Nania yang sudah terlanjur jatuh di bawah lutut cinta tanpa kabar sedikit pun. Hingga kejadian-kejadian berikutnya yang datang silih berganti, membuat kesalahpahaman terus berlanjut. Asumsi-asumsi yang berlebihan, kepengecutan dari diri, kepergian ke negeri orang, mimpi yang diraih, hingga pertemuan tak terduga di bawah gempuran warna-warni tepung Festival Holi, India. Semua itu menjadi satu dalam kisah cinta pertama Nania dan Pangeran Kertas-nya.
Nah, apakah cinta ini akan terus berlanjut meski diterjang badai kesalahpahaman? Ataukah cinta ini akhirnya kandas serta hanya mengisahkan memori tentang cinta di masa muda? Entahlah, mari, temukan sendiri akhir dari kisah Nania dan cintanya yang tak akan pernah lekang meski dunia memisahkan mereka.
Review:
Hanya perlu tiga alasan untuk memasukan buku ini ke dalam tas belanjaan dalam sekali lihat, yaitu: Judul, cover, dan harganya yang masih di bawah enam puluh ribu. Hahahaha. Seperti biasa, saya bukan penulis yang up to date soal buku teranyar. Jadi, setiap bertandang ke toko buku saya tidak pernah memiliki tujuan khusus untuk membeli buku apa. Saya selalu mengandalkan feeling dan insting pembaca saya dalam menemukan buku yang akan saya beli. Kadang insting saya salah, kadang insting saya menghantarkan saya pada buku yang tak terlupakan. Jadi, bagaimana dengan buku ini?
Buku ini bisa dibilang so-so buat saya. Saya tidak pernah membeli karya penulis ini sebelumnya, jadi saya tidak bisa membandingkan tulisan-tulisannya sebelum ini. Tapi, jika dibandingkan dengan karya-karya serupa, bergenre metropop, yang pernah saya baca sebelumnya. Buku ini tidaklah lebih baik, pun lebih buruk. Standar aman untuk dibaca bagi saya.
Gaya bercerita penulis yang mengambil sudut pandang orang ketiga memang rapi, tapi tidak begitu memikat dan membuat saya larut dalam cerita yang ia tawarkan kepada saya. Puisi-puisi dalam buku ini pun sama, tidak benar-benar membuat saya larut dalam khayalan Nania tentang Pangeran Kertas-nya. Saya mengira puisi tentang Pangeran Kertas ini bisa lebih panjang lagi, lebih mendayu-dayu lagi, dan lebih… emmmh, apa ya istilah yang bisa saya pakai, lebih emosional? Ya, saya rasa itu, lebih emosional hingga menggugah saya untuk membaca puisi itu berulang-ulang dan membayangkan sendiri seperti apa sosok Pangeran Kertas ini, karena sosok inilah yang menjadi inti dari buku ini. Tapi tidak, yah, tidak terlalu membuat saya merinding sih. Biasa saja, hehehe.
Kemudian, untuk plot dan alurnya sendiri. Saya pribadi menikmatinya seperti sungai yang mengalir. Datar saja, namun tidak membuat saya benar-benar terganggu soal itu. Perpindahan dari satu adegan ke adegan yang lainnya cukup mulus dan nyaris tak membuat saya mengernyit bingung dan berdecak ‘loh kok?’ seperti pada beberapa buku yang saya baca belakangan ini.
Tapi, sejujurnya saya masih memendam rasa risih pada penokohan Raka yang digambarkan sebagai pria yang benar-benar pengecut di sini. Hingga alur serta plot ceritanya jadi tak terduga ke arah yang aneh bagi saya. Raka sama sekali tidak memiliki sosok Pangeran Kertas yang akan melindungi Nania. Ia lebih terasa seperti Pangeran Impian—ada sih di bahas di buku ini, tapi tetap aja mengganggu banget—yang gak bisa digapai sama Nania. Hingga akhirnya saya merasa konyol sendiri, kenapa Nania bisa jatuh cinta pada sosok Pangeran Kertas yang wataknya seperti ini. Hahaha.
Terus lagi, dialog yang terlalu puitis dan mehe-mehe antara Nania dan Raka. Bleeeh, kalau boleh jujur saya geli sendiri baca dialog mereka yang saling rayu merayu pakai kata-kata puitis. Merinding disko, Bok. Hahaha. Kenapa ya? Mungkin risih dan sekaligus ngerasa lebay aja sih. Mungkin penulis ingin menyampaikan ikatan batin yang kuat antara Nania dan Raka yang dimasukan kedalam puisi mereka masing-masing kali ya? tapi tetep aja, bayangin dua orang pacaran sambil rayu merayu pakai puisi itu kayak lagi nonton opera sabun gitu. Yah, geli aja, maunya romantis kok kesannya jadi enggak banget gitu. Hahaha, itu sih perasaan saya.
Oh ya, satu lagi nih poin minusnya dari buku ini, penjelasan yang terlalu text book macem Wikipedia bernarasi ada di beberapa bagian buku. Hahaha. Ini nih, kekurangan di banyak sekali penulis yang mungkin punya penyakit kepengen pamer pengetahuan dan riset ke pembaca. Contohnya, di salah satu bagian buku ini ada penyampaian sejarah tentang Ragunan yang which is not really important pada cerita selain tempat itu dijadikan tempat triple date Nania, Lilu, dan Deta. Omg. Saya baca dialongnya pake muka datar ditambah banget.
Well, in the end, di tengah-tengah buku sebenarnya saya memutuskan untuk memberikan bintang 3 tapi karena akhir dari buku ini cukup manis-tragis dan sedikit anti mainstream (menurut saya) akhirnya saya tambahkan satu bintang lagi menjadi 4. Buku ini cocok banget untuk bacaan di akhir pekan bagi kalian menginginkan kisah romantis di antara puisi dan kata-kata.