Requiem (Delirium #3) – Lauren Oliver

 
 

Judul                     : Reqiuem (Delirium #3)
Penulis                  : Lauren Oliver
Penerjemah         : Prisca Primasari
Penerbit               : Mizan Fantasi
Terbit                    : Cetakan pertama, Desember 2014
Tebal                     : 488 halaman
Rate                       : 3.5/5

 

“Dia memang bukan milikku lagi—aku pun tidak berhak untuk merasa kehilangannya. Tetapi aku tetap berduka, merasa sulit memercayai kepergiannya.”Requiem, hlm. 301

 
 
Mereka kembali dari New York City, setelah Lena berhasil menyelamatkan Julian dari hukuman mati. Bergerak dengan para Invalid lain. Lena pun menemukan Alex—cinta pertamanya—yang ia kira mati, ditangkap oleh para Regulator kala pengepungan di 37 Brooks.  Alex memang berhasil melarikan diri dari Kriptus, tapi Lena tak lagi mengenal dirinya yang baru. Alih-alih mengacuhkan keberadaannya, Alex malah lebih tertarik dengan Coral, anggota baru yang tak sengaja mereka temukan di tengah Alam Liar.

Di balik Tembok, Hana hidup nyaman setelah dipasangkan dengan Fred Hangrove.  Ia telah disembuhkan. Tinggal hitungan hari sampai ia resmi menjadi istri sang gubernur muda. Namun, kala malam menjelang, Hana selalu dihantui perasaan bersalah. Kejadian 37 Brooks silam; wajah Lena yang dirundung sengsara; Alex yang dikabarkan mati. Ia tak bisa tinggal diam.

Lena masih mempertanyakan suara hatinya, menanti tatapan Alex yang dulu bersirobok dengan rona matanya; kehangatan Julian yang selalu menyelimutinya tiap malam. Siapakah yang harus ia pilih? Julian? Atau jangan-jangan ia masih mencintai Alex? Namun, di balik semua pertanyaan itu, ia harus terus bergerak. Alam Liar tak lagi aman. Fred Hangrove punya rencana jahat. Ia ingin semua Alam Liar dihancurkan. Para Invalid harus balik melawan alih-alih menunggu untuk diburu.

 
 

Ada perasaan menggebu-gebu kala mendengar seri terakhir “Delirium” milik Lauren Oliver akhirnya diterjemahkan. Teringat buku pertamanya yang hadir dengan ide yang sangat brilian. Kendati masih mengusung tema yang marak diangkat oleh para penulis kontemporer belakangan ini, tapi Oliver dengan ide distopianya tentang cinta yang dianggap sebagai penyakit berbahaya terbukti berhasil menyihir jutaan pembaca. Terjemahannya dikemas dengan baik, Mizan Fantasi sendiri tidak mengganti cover orisinilnya. Dan hal itu yang membuat saya tertarik untuk membeli. Well, memang ide utamanya mengingatkan saya sedikit banyak pada peristiwa Tembok Berlin, tentang animo yang membandingkan dua penduduk yang berada di dalam Tembok dan di luar Tembok (Alam Liar) dan ide Lauren Oliver untuk menuliskannya dari dua sudut pandang merupakan gagasan yang amat baik. Hanya saja yang kurang saya sukai dari “Requiem” adalah tentang bagaimana plotnya berjalan klise dan pemungkasannya pun dibuat menggantung dan tidak relevan (tentang keputusan akhir Lena). Terlepas dari beberapa konflik tegang yang sebelumnya telah Lauren Oliver buat di seri pertama dan kedua, saya sebagai pembaca berekspektasi tinggi untuk sebuah ending epik yang juga tidak kalah kerennya.

Selain menawarkan sebuah cerita bersudut-pandang ganda, “Requiem” yang merupakan seri ketiga dari “Delirium” dibuka dengan luwes dan tidak bertele-tele. Pembaca dengan mudah masuk ke dalam alurnya. Tetapi, keberadaan Alex yang sekonyong-konyong muncul pun agaknya sedikit membuat saya bertanya-tanya tentang lubang plot tersebut. Rupanya, Lauren Oliver sengaja memilih setapak memutar yang bersifat menjelaskan konflik utama, ketimbang menceritakan kisah kesengsaraan Alex di Kriptus. Tapi sebagai timbal baliknya, pembaca diberi lembar bonus di bagian terakhir yang dikemas lebih mirip seperti buku harian. Cukup memuaskan. Hanya plotnya tergolong tidak konsisten menjelang akhir, Lauren Oliver agaknya ingin lekas-lekas memungkas ceritanya dengan sebuah tempo yang lebih cepat dan melompat-lompat dari sudut pandang Lena ke Hana, pun sebaliknya.

Gaya bahasa penerjemahannya sangat baik. Mengikuti narasinya yang luwes dan ramah. Jarak penerbitan seri kedua dan ketiga dari “Delirium” ini terbilang terpaut cukup jauh, sehingga saya pun agak lupa dengan konflik-konflik sebelumnya, akan tetapi, karena buku kedua, “Pandemonium” cukup membekas di benak saya. Disambut pula dengan gaya bahasa yang baik dan sederhana, saya merasa dengan lekas dapat beradaptasi dan masuk ke dalam ceritanya. Berbeda dengan buku-buku distopia era sekarang yang banyak bergeser ke roman aksi, seperti seri “The Darkest Minds” milik Alexandra Bracken, “Requiem” masih terbilang ringan dan klasik. Adegan laganya mudah dimengerti dan dibayangkan. Runut. Dan lebih mengarah pada penceritaan yang bergaya “to tell”. Mengimbangi narasi yang sederhana, gaya bercerita Lauren Oliver dalam “Requiem” masih terbilang cantik, Oliver banyak memakai alegori dan kiasan yang manis dalam menjelaskan tiap keadaan di Alam Liar dan perasaan yang dialami Hana maupun Lena.

Dari bagian penokohan, saya rasa, OIiver sangat piawai menjelaskan tokoh-tokoh pendukung. Seperti Julian, Raven, dan para regu Invalid lainnya. Satu per satu ia cirikan. Seperti Julian yang dulunya merupakan orang penting dan sekarang ia terpaksa masuk ke Alam Liar; Oliver beberapa kali menekankan perubahan fisiknya lewat narasi Lena. Sebaliknya, sebagai tokoh penting, Lena dan Hana malah menjadi sulit dibedakan. Dari segi penokohan, Oliver terlihat seperti lebih mementingkan “sekeliling” ketimbang “sendiri” oleh karena itu sikap Lena dan Hana seperti nyaris sama. Dua-duanya sama-sama cepat gelisah. Mementingkan perasaan sendiri. Dan banyak hal lagi yang sepertinya membuat keduanya berkarakter kuat dan mirip. Namun, menganggapi hal tersebut, agaknya Oliver memang lebih ingin memperkuat sisi plotnya yang nyaris di penghujung seri, sehingga ia perlu membuat hal tersebut terasa lebih epik ketimbang memedulikan penokohan yang rinci.

Terlepas dari penokohan yang sedikit goyah, setiap latar penceritaan yang digunakan Oliver diperlakukan sangat baik. Kalau “Delirium” mengambil tema distopia dengan ranah Portland yang sudah diporak-porandakan, tetapi Lauren Oliver tidak pernah melupakan tiap jalannya. Ia masih memasang nama-nama area dan juga distrik yang memang seharusnya ada, sehingga pembaca pun lebih mudah membayangkan, tidak diiming-imingi oleh sebuah imajinasi tempat yang dideskripsikan “mengambang”.

Secara keseluruhan, “Requiem” masih terbilang menghibur. Jalan ceritanya klise seperti novel distopia pada umumnya, tapi saya bilang, seri “Delirium” ini merupakan salah satu pioneer dari cerita-cerita distopia di era sekarang, mungkin terjemahannya baru menyembul sekarang tetapi alur ceritanya yang klasik banyak menelurkan cerita-cerita yang punya genre serupa.

Dari 5, “Requiem” saya beri 3,5. Bisa digolongkan sebagai bacaan ringan dengan ide yang brilian. Konfliknya cukup menjebak, tapi mudah dimengerti.

3 thoughts on “Requiem (Delirium #3) – Lauren Oliver

  1. I’m skeptical of anything Lauren Oliver writes, because of her company Paper Lantern Lit. She may not have really written this, only slapped her name on it. It’s very dishonest and I don’t trust anything like Full Fathom Five.

  2. I love Lauren’s books. But, Requiem… I dislike how easy Lena gave up on Alex. And I firstly fallen in love with Alex, so, I can’t receive it.

Leave a reply to pandaduh Cancel reply