Trash ‘Anak-Anak Pemulung’ – Andy Mulligan

 

 

Judul                     : Trash ‘Anak-Anak Pemulung’
Penulis                 : Andy Mulligan
Penerjemah       : Nina Andiana
Penerbit              : Gramedia Pustaka Utama
Terbit                    : Cetakan pertama, Juli 2012
Tebal                     : 256 halaman
Rate                       : 4 / 5

 

 

“Siapa yang tahu apa yang bakal kautemukan selagi memilah-milah sampah! Mungkin saja ini hari keberuntunganmu.” Trash ‘Anak-Anak Pemulung’, hlm. 3

 

Hari itu mungkin hari keberuntungan Raphael Fernández. Di antara tumpukan sampah, tempatnya bekerja, ia menemukan hal lain selain tinja dalam bungkusan kering. Gardo, sahabat terbaiknya, sudah mengamati dari jauh ketika ia memasukkan tas kulit itu secara diam-diam. Seulas cengiran tersungging di sudut bibir. Isi tas itu seribu seratus peso dan mereka akan mengadakan makan malam meriah malam petang itu.

Namun, siapa sangka jika sekonyong-konyong sirine nyaring malah mengepung Behala, kota sampah tempat mereka bermukim, malam itu. Para kepala keluarga dikumpulkan di lapangan. Dan Thomas, pemimpin kecil mereka mengumumkan kalau polisi tengah mencari sebuah tas kulit yang sangat penting.

Raphael bergidik ngeri; Gardo menatapnya waswas; bibi Raphael buru-buru berkata jika keponakannya menemukan sesuatu siang itu. Alih-alih mengaku, Raphel bilang ia menemukan sepatu. Namun, ia tahu, jika tas kulit yang ia temukan pasti mengarah ke petunjuk lain yang lebih besar ketimbang imbalan yang diangsurkan polisi.

Nyatanya ia membawa tas itu jauh ke gorong-gorong gelap milik Tikus—Jun-Jun—dan memintanya menyimpan benda itu untuk sementara waktu. Raphael dan Gardo menyadari, selain seribu seratus peso yang mereka gunakan untuk berpesta, ada hal lain ditanggalkan oleh José Angelico, yang diduga sebagai pemilik tas kulit itu. Di dalam dompet lusuh yang ia tinggalkan terdapat sebuah peta dan anak kunci bertuliskan 101, yang Tikus tahu ke mana mereka akan menemukan petunjuk selanjutnya.

 

“Kami tidak menyadari fakta bahwa jika polisi mengira kau memiliki sesuatu, mereka tidak akan berhenti sebelum berhasil mendapatkannya darimu.” Trash ‘Anak-Anak Pemulung’, hlm. 42

 

 

Lewat sesuatu yang tidak pernah disangka sebelumnya, “Trash” malah ingin berbincang mengenai hal lain di luar kata “sampah”. Dengan memakai latar asing, miskin, dan sering kali mengundang kata hina dan rasa jijik, Andy Mulligan justru menyampaikan sesuatu yang besar yang menurutnya benar. “Trash” adalah sebuah cerita epistolar—potongan dokumen atau buku harian—para tokoh yang terlibat di dalamnya yang berusaha mengungkap sebuah aksi korupsi wakil presiden, Senator Regis Zapanta. Dan kata “sampah” di sini bukan hanya merujuk kepada Behala yang merupakan bagian dari Smoky Mountain, si Kota Sampah, tapi juga merujuk kepada perlakuan orang-orang besar kepada rakyat miskin, yaitu dengan memperlakukan mereka seperti sampah, tidak berarti, dan bahkan diperlakukan semena-mena dalam penegakan hukum.

Lewat cerita-cerita Raphael, yang pada mulanya, bercerita tengan kesederhanaan dan realita bagaimana setiap pemulung bekerja di Behala, lantas seperti ditimpa rezeki sekaligus sial dalam satu hari, lantas ia dipilih oleh takdir untuk membuka kedok terhadap kejahatan orang yang paling berkuasa. Saya merasa cerita ini seperti film Slumdog Millionaire karya Danny Boyle, yang mana alur ceritanya tidak dapat tertebak, banyak kejutan dan rahasia, sekaligus kesamaan lingkungan yang sama-sama datang dari sebuah pemukiman yang kumuh. Kerap kali saya tertegun mengenai hal-hal tersebut, dan jika ini adalah cerita fiksi, Andy Mulligan bukan menyajikan sebuah fiksi tanpa landasan fakta. Dari ketiga karakter utamanya yang anak-anak, bisa jadi para pembaca tertipu dan mengira kalau “Trash” akan nikmat jika dibaca oleh kalangan anak-anak saja, tapi sesungguhnya dari kejadian-kejadian yang sederhana, semua itu malah menyimpan kritik-kritik tajam mengenai perlakukan pemerintah, khususnya seperti di Indonesia ini, saya rasa, Andy Mulligan tidak bicara hanya untuk orang-orang di Behala, tapi untuk orang-orang kecil lainnya yang kerap kali diinjak-injak dan serta-merta uang mereka dirampas untuk kesenangan pribadi.

Keberadaan kode-kode yang digunakan oleh José Angelico dalam berkomunkasi juga sangat menarik. Kode yang sangat sederhana, pernah digunakan juga dalam beberapa film, tapi entah mengapa begitu hebat jika dapat dipecahkan oleh tiga orang pemulung cilik. Intinya, saya sempat tercengang saat tahu, jika sesungguhnya tiga pemulung cilik, terutama Gardo, bukanlah orang yang bodoh, mereka dapat membaca, hanya saja nasib mereka terus saja terpuruk bersama kesenjangan ekonomi yang mereka alami.

Untuk gaya berceritanya yang bersifat epistolar. Saya sempat bertanya mengenai nama yang selalu tercantum dalam bab. Kalau biasanya ingin berganti sudut pandang, seringnya hanya memakai dua sudut pandang dari dua tokoh utama, tapi yang menarik dalam “Trash”, yang terlibat untuk bercerita, tidak hanya Raphael, Gardo, dan Tikus, melainkan orang di sekeliling mereka, yang sesungguhnya tidak bersalah, bahkan tidak tahu-menahu mengenai petualangan tiga sahabat tersebut.

Dari porsi deskripsi dan dialog, narasi masih terasa mendominasi keseluruhan cerita lantaran “Trash”, yang bisa jadi digolongkan sebagai novel perburuan, yang mana tokohnya mengendap-endap, melompat dari gedung satu ke gedung lainnya, sehingga aksi-aksi semacam itu membutuhkan banyak penjelasan. Namun, narasi yang di maksud dalam “Trash” adalah narasi yang berupa monolog yang selalu berganti sudut pandang dengan begitu, cerita pun tidak terasa bosan dan pembaca bisa melihat tanggapan masing-masing pribadi yang tidak bersalah menjadi terkait dan mau tak mau jadi harus terlibat dengan pihak kepolisian yang semena-mena.

Gaya bercerita epistolar yang disajikan oleh Andy Mulligan sayangnya mengundang satu hal, yaitu alur yang patah-patah. Terlebih ada beberapa bagian punya plot ganda. Contohnya saat bab Gardo dan Miss Olivia mengunjungi kakeknya di penjara, lantas bab berikutnya sudut pandang berpindah ke Pastor Julliard yang bercerita mengenai hal lain yang tidak ada hubungannya dengan kakek Gardo. Dan untuk bagian introduksi, lantaran menggunakan narasi yang mendominasi deskripsi cerita, alur pun menjadi terasa lambat dan bertele-tele, hingga akhirnya Jun-Jun menggiring mereka menunju stasiun, semuanya menjadi seru dan menanjak ke tahap konflik selanjutnya.

Karakter-karakter utama yang hadir dalam “Trash” sebagian besar adalah anak-anak. Ada Raphael, Gardo, dan Jun-Jun ‘Tikus’. Dan dari ketiganya yang saya paling sukai adalah Tikus alias Jun-Jun. Jun-Jun dideskripsikan sebagai seorang pemulung cilik yang tidak punya teman, ia menghabiskan waktu di gorong-gorong miliknya, tapi lantaran itu ia menjadi menarik. Ia punya banyak rahasia yang membuat Raphael dan Gardo tercengang. Di balik penampilan menjijikkannya, sesungguhnya Jun-Jun-lah yang paling tangkas dalam membuat rencana. Tapi, intinya dari ketiga karakter utamanya, yang paling saya kagumi adalah kisah persahabatan mereka, dari rasa enggan, sampai saling melindungi, dan sekalipun sesungguhnya Raphael dan Gardo tidak dekat dengan Jun-Jun, tapi karena peristiwa tersebut, mereka menjadi sahabat dan sahabat adalah orang yang tidak segan-segan mengorbankan segalanya untuk membantu sahabat yang membutuhkan.

Sebagai latar utama, dalam lembar catatan penulis Andy Mulligan menuliskan jika kisah “Trash” ini terinspirasi dari kunjungannya ke Fillipina, yang mana di sana terdapat sebuah penampungan sampah bernama Smokey Mountain, yaitu Smoky Mountain (yang ia plesetkan dalam fiksinya) dengan fokus Behala sebagai tempat bermukim ketiga tokohnya. Setiap detail latarnya Andy Mulligan jelaskan dengan baik, pun tokoh-tokohnya yang memang bernama seperti orang-orang Fillipina, tapi sebagai perbandingan, saya pun menonton filmnya.

Film “Trash” yang dirilis tahun 2014 lalu, punya rating yang cukup bagus. Menonton film, pun membaca bukunya sama-sama mengundang rasa tegang. Tapi, efek visual yang disajikan sama sekali tidak mengecewakan. Hanya saja banyak nama yang diganti, seperti latar diperjelas, dalam filmnya Behala di sini diganti oleh penampungan sampah di Rio de Janeiro, dan nama José Angelico yang diganti menjadi José Angelo. Dan nama asli Tikus, bukanlah Jun-Jun tetapi Gabriel, nama yang lebih merujuk kepada orang Brazil.

Untuk mengatasi bagian introduksi yang kepalang panjang di dalam buku, “Trash” dalam versi filmnya menggunakan alur yang terbalik. Kalau di buku, Raphael dibilang beruntung lantaran menemukan seribu seratus peso, di film, asal muasal dompet kulit milik José sudah diceritakan sebelumnya, dari mana dompet itu berasal dan bagaimana seorang José Angelico dapat mati di tangan polisi.

Secara keseluruhan, sekalipun sudah membaca bukunya terlebih dahulu, tapi film “Trash” pun bisa membangkitkan adrenalin para penontonnya. Dengan perbandingan ketebalan buku dan durasi film yang nyaris menyentuh angka dua jam, hal-hal penting yang coba disampaikan Andy Mulligan terbilang tidak luput, alih-alih, diberikan banyak tambahan adegan yang lebih mendramatisir.

Dari lima, saya ingin memberikan empat untuk ide brilian Andy Mulligan. Tips terakhir saya, sesungguhnya, jangan baca review saya, rasakan saja kejutan yang meledak-ledak seperti saat saya mengambil secara random buku “Trash” dari rak dan berharap jika buku ini hanya bercerita hal yang melulu tentang sampah.

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s