Judul : 9 dari Nadira
Penulis : Leila S. Chudori
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Terbit : Cetakan pertama, Oktober 2009
Tebal : 270 halaman
Rate : 4.5 / 5
“Jakarta tidak memiliki seikat seruni. Tetapi, aku akan mencarinya sampai ke ujung dunia, agar ibu bisa mengatupkan matanya dengan tenang.” –Mencari Seikat Seruni, “9 dari Nadira”
Kemala bukan orang sembarangan, menurut Nadira. Ibunya selalu dikenal sebagai perempuan yang berani, melangkahi pemikiran kolot dari para mertua, dan berpikiran bebas. Tapi, sekali lagi pertanyaan itu menyembul, apa yang sesungguhnya terbersit di benak Kemala?
Semenjak kematian Kemala, Nadira pun berubah. Tak hanya Nadira, tetapi keluarga Suwandi. Tidak ada pemikiran mudah untuk dicerna. Selalu saja kerumitan dan kepelikan yang berkelindan di sekitar mereka.
- Mencari Seikat Seruni
- Nina dan Nadira
- Melukis Langit
- Tasbih
- Ciuman Terpanjang
- Kirana
- Sebilah Pisau
- Utara Bayu
- At Pedder Bay
Sebagaimana cerpen “Mencari Seikat Seruni” dibuka, judulnya pun sudah menggambarkan isinya. Kemala Yunus hanya ingin diantar pergi oleh bunga kesukaannya—seruni. Dan Leila S. Chudori menulis cerpen pertamanya seperti ketika ia menulis “Pulang”. Selalu dilingkupi tempat dan tanggal sebelum dimulai, lantas latar pun dengan cepat berganti dari Jakarta menuju Amsterdam. Dimulai pada masa kini, ketika Nadira selalu bertanya-tanya tentang keputusan ibunya kemudian disela masa lalu, ketika sang ibu masih menetap ke Amsterdam; menimang Nadira kecil yang enggan minum susu. Ada yang menarik dari napak tilasnya, Leila S. Chudori membuka kertas rahasia Kemala tidak dengan napak tilas yang beraturan, alih-alih, acak dan membuat pembaca harus senantiasa berkonsentrasi.
Bergulir pada cerita kedua, saya menemukan hal lebih menarik lagi dari pergantian sudut pandang yang diambilnya.
“Nadira memeluk kakaknya erat-erat seolah tak ingin melepasnya lagi. Kepala Nina menyusup ke dada adiknya. Tiba-tiba saja, Nina baru tahu letak kunci yang dia lempar ke dalam lautan itu. Dan kini dia merasa sudah siap meminta maaf kepada adiknya.” –Nina dan Nadira, “9 dari Nadira”
Demikian fiksi pendek favorit saya “Tasbih” menjadi wujud depresi Nadira yang sesungguhnya. “Tasbih” memang punya jumlah halaman yang paling panjang, seingat saya. Tapi, lewat “Tabsih” pembaca memasuki fase jenuh pada pekerjaan Nadira. Yang mana Nadira sebagai kebanggaan ayahnya, yang mampu mewawancarai para petinggi negara, malah meminta rehat dan berkelit dengan kasus pembunuhan oleh Bapak X.
“Keempat …, aku hanya akan membunuh mereka yang berani menghina ibuku.” –Tasbih, “9 dari Nadira”
“Tasbih” lebih banyak didominasi oleh dialog. Tapi, dialog yang dilontarkan kedua tokohnya, Bapak X dan Nadira adalah kehidupan bagi plotnya. Bapak X bukan sekadar pembunuh bengis, tapi seorang psikater sinting yang mampu menjawab dan mengoyak pertanyaan Nadira sekaligus menyisipinya dengan sugesti mengenai dendam dan kepahitan di masa lalu. Alurnya cukup jelas. Tapi, yang saya favoritkan tetap ramuan komposisi dialog dan narasinya yang eksploratif. Sebagai jurnalis senior Tempo, Leila S. Chudori bercerita apa adanya. Ia ungkap semuanya seperti di koran. Begitupun dengan deskripsi tempat di mana wawancara itu dilakukan.
Adalah cerpen menarik kedua yang memikat mata saya, tidak hanya dari rentetan kalimat yang menarik, tapi merupakan kolaborasi antara tulisan dan ilustrasi. Ilustrator, Ario Anindito yang piawai membuat setiap ilustrasi dari cerita-cerita sebelumnya, kini ikut membuat karakter baru yang sering disebut “Kris” sebagai akuan yang menarasikan “Sebilah Pisau”. “Sebilah Pisau” bisa dibilang cerita drama dengan ide roman pada umumnya. Laki-laki yang ditinggal kawin oleh perempuan yang dicintainya diam-diam. Tapi, jangan bilang sudah bisa ditebak seperti novel-novel roman remaja.
Leila S. Chudori sengaja berjalan memutar. Cerita tidak dibuka dan menanjak menjadi konflik cinta. Alih-alih, Kris bersikap sebagai reviewer, mendeskripsikan Nadira seperti pembaca tidak pernah mengenalnya, lantas kebiasaannya di kantor, seperti Tera adalah sesuatu yang baru saat dibaca. Dan barulah isu-isu itu menjadi panas, saat Nadira bertemu pria yang sanggup membuatnya beranjak dari masa lalu, menuju masa depan, yang ia kira layak untuk diraih. Tapi, di balik kepercayaan yang Nadira anut tersebut, rupanya Tara, sebagai atasannya punya rasa lain, yang bisa diungkapkan seperti judulnya: “Sebilah Pisau”.
Menjawab semua penasaran dari kisah yang diungkap Kris, akhirnya, Leila S. Chudori menulis Utara Bayu. Leila S. Chudori sedari awal tidak pernah menjelaskan fisik Tara secara panjang lebar, cukup dengan rambut ikal, dan etos kerja yang maksimal. Tapi, menurut saya, nama Utara saja sudah bisa langsung disimpulkan bagaimana orangnya. Seolah nama unik itu penuh kharisma. Utara tidak pernah menunjukkan perasaan dia secara gamblang kepada Nadira. Sampai suatu kali ia mengucapkan kata-kata terpahit dari bibirnya, agaknya ia menyerah pada takdir.
“Tara kini menggenggam tangan Vena dengan tulus. Dia lega, meski hatinya teriris. Dia harus mengucapkan selamat tinggal kepada seseorang yang tak pernah dimilikinya.” –Utara Bayu, “9 dari Nadira”
Terlepas dari sebagian lain cerpen dalam antalogi “9 dari Nadira” yang belum saya bahas, bisa disimpulkan kalau rata-rata tiap ceritanya memiliki ratap dengan pertanyaan yang tinggalkan menganga. Khas sebuah cerpen. Ada sedikit plot twist yang coba diangkat Leila S. Chudori di tiap bagian akhir, tapi yang unik dari plot twist tersebut adalah plot twist yang berkait. Antara satu cerpen ke cerpen lainnya, lantas pembaca pun mau tak mau jadi ikut merenung. Dan mencoba membolak-balikkan halaman, mencari jawaban yang dimaksud tersebut.
Walau “9 dari Nadira” dimaksudkan sebagai cerita pendek yang berdiri sendiri, tapi antara “Mencari Sekuntum Seruni” hingga “At Pedder Bay”. Kesembilannya dimaksudkan sebagai satu rangkaian perjalanan cerita, yang apabila dilewatkan, pasti akan kehilangan jejak dan berusaha mencarinya.
Hawa yang dibawa pada masing-masing cerpennya selalu dirundung sendu, sebagaimana cerpen ini dibuka, semuanya berbicara soal kematian. Mati, mati, mati. Bahkan ketika Nadira frustasi dan menghuni kolong meja kantornya. Tara sempat panik Nadira akan menyebutkan mantra yang satu itu. Namun, di antara sendu yang dimaksud, saya selalu suka kultur-kultur yang diangkat Leila S. Chudori pada dialog tokohnya yang penuh dialog. Ada Jawa, Sunda, dan sedikit-sedikit penulis memuat kalimat dalam bahasa Perancis, Inggris, dan Belanda. Yang kadang malah bisa membikin pembaca senyam-senyum sendiri melihat logat-logat konyol yang coba ditirukan pada tokoh figurannya.
Memang bukan mahakarya “Pulang” karya Leila S. Chudori, tapi “9 dari Nadira” punya tempat sendiri sebagai karya kesukaan saya bulan ini. Jika ini dibilang sebagai antalogi sastra, saya rasa, bukan. Bahasanya mengingatkan saya pada Okky Madasari. Lugas, mengalir, seperti membaca koran yang digubah menjadi novel. Isu-isunya pun kritis. Tidak hanya keluarga, ada juga debat kusir mengenai partai. Membaca satu buku, seperti punya banyak esensi yang mudah dicerna oleh kepala.
Saya merasa bahwa di pembukanya saja, saya lebih menginterpretasikan ini sebagai Novella bukan kumcer hehehe. Baca buku”nya kak Leila harus tenang, karena memang mengalir pelan
http://www.extraodiary.com